Oleh: Rahmah Istiqomah
Di era kontemporer seperti sekarang ini, faktor yang menjadi tolak ukur capaian kesejahteraan suatu negara, salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi. Faktor itulah yang akhirnya menjadi alasan mengapa dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara di dunia baik negara maju atau berkembang sedang berlomba-lomba menyuntik dan membangkitkan berbagai sektor, salah satunya industri supaya bisa menaikkan grafik pertumbuhan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa globalisasi dan modernisasi turut andil cukup besar dalam mempengaruhi pesatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara yang disokong oleh keberadaan industri.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka menaikkan pertumbuhan ekonomi juga diiringi dengan kemunculan fenomena baru, yakni kerusakan alam. Ulrich Beck dalam karyanya Risk Society, menggambarkan bagaimana industrialisasi di masa kontemporer bagai dua sisi mata uang. Aktivitas yang mendukung perekonomian berdampak pada naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, namun disisi lain akan memperbesar kemungkinan kerusakan terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan, sebagian besar aktivitas ekonomi baik dari tahap produksi hingga konsumsi telah menghasilkan limbah-limbah yang mencemari lingkungan.
Tetapi, benarkah pertumbuhan ekonomi selalu diiringi dengan kerusakan alam? Benarkah di zaman kontemporer ini, industrialisasi telah menggiring kita menjadi bagian dari masyarakat beresiko seperti penggambaran Ulrich Beck? Atau kita justru mampu mengamini pendapat seorang tokoh, Susilo Bambang Yudhoyono bahwa “ada mitos yang mengatakan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan tidak mungkin dicapai secara bersamaan. Harus ada dikorbankan. Mitos ini harus kita patahkan” artinya, pertumbuhan ekonomi sebenarnya bisa dicapai tanpa harus mengorbankan kelestarian lingkungan. Kenyataannya, arus pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu dibendung, dan kerusakan terhadap lingkungan memang senantiasa membersamainya, jika konsep ekonomi yang dijalankan masih mengikuti teori keseimbangan neo klasik yang menganggap dasar pertumbuhan ekonomi hanyalah tenaga kerja, modal, dan teknologi, tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Kesadaran akan pentingnya memastikan keberlanjutan sumber daya alam di tengah ambisi menumbuhkan ekonomi, telah menginisiasi munculnya berbagai konferensi yang melibatkan pemimpin berbagai negara di dunia. Konferensi PBB pada tanggal 25 September 2015 yang dihadiri para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai kesepakatan pembangunan global berfokus untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita bisa melindungi lingkungan sembari terus menumbuhkan perekonomian di masyarakat sebagai upaya mengurangi kesenjangan dan kemiskinan?
Perspektif pembangunan ekonomi berkelanjutan seperti yang ditawarkan oleh PBB dalam kesepakatan SDGs, menjadi poin utama yang akan dibahas menggunakan kacamata politik, sosial, dan budaya yang ada di Indonesia. Berdasarkan apa yang ditulis Ella Harrington dalam bukunya mengenai pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, ia berpendapat bahwa degradasi lingkungan dalam pembangunan sebenarnya disebabkan oleh kombinasi kemiskinan, pemerintahan yang buruk, dan ketidaktahuan khalayak ramai. Jika ditarik ke kondisi Indonesia dan negara ketiga lainnya, kita bisa melihat bahwa ketiga faktor tersebut masih menjadi permasalahan utama. Meskipun dari tahun ke tahun kondisinya terus mengalami perbaikan, utamanya mengenai kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, jika tidak didorong percepatannya dan didukung oleh kebijakan dari pemerintah, maka akan kalah bersaing dengan negara-negara dunia pertama. Masalah kerusakan alam sebenarnya juga erat disebabkan oleh ketiadaan kebijakan publik yang dirancang secara efektif untuk mengurangi dampak pada kerusakan lingkungan. Adanya kebijakan publik yang melahirkan aturan, akan meresap dalam setiap pengambilan keputusan sehari-hari baik di tingkat terkecil di masyarakat sampai ke level kepentingan nasional.
Pentingnya menumbuhkan kesadaran masyarakat dan pembentukan kebijakan publik yang mengatur tentang kelestarian lingkungan dalam pembangunan perekonomian menjadi gerakan baru era kontemporer yang dianggap menjadi konsep paling memungkinkan diadaptasi oleh berbagai negara. Pengembangan kebijakan dan aturan mengenai kelestarian lingkungan harus diterapkan pada sektor-sektor industri, sehingga dalam strukturnya tidak hanya berfokus pada kebutuhan perusahaan, tetapi memiliki etika dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan. Salah satu gerakan yang kini menjadi upaya dalam mengatasi keadilan pembangunan di berbagai sektor termasuk ekonomi, tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan adalah proyek transisi energi terbarukan. Energi terbarukan menjadi gerakan environmentalism yang kini populer di berbagai negara, yang diharapkan akan memunculkan transisi-transisi di bidang lain dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pada tahap lanjut, pembangunan ekonomi berkelanjutan perlu mempersiapkan tantangan akan penggunaan sumber daya alam yang selama ini menjadi permasalahan besar krisis lingkungan. Bagi negara dunia ketiga, sumber daya alam adalah potensi untuk mendapatkan keuntungan besar sekaligus membawa konsekuensi kegagalan pembangunan berkelanjutan. Maka, adanya konservasi sumber daya alam, kebijakan publik, dan peningkatan kapasitas kesadaran masyarakat kiranya menjadi poin utama dalam menumbuhkan perekonomian sambil terus berusaha menjaga kelestarian lingkungan.