Oleh: Amar Ma’ruf
Setidaknya ada sekitar 60 definisi inovasi berdasarkan studi oleh Baregheh dkk. peneliti dari Bangor University, Inggris yang dipublikasikan tahun 2009. Hingga esai ini ditulis, studi tersebut telah dirujuk / disitasi lebih dari seribu kali oleh para ilmuwan lain di seluruh dunia. Salah satu penggalan dari definisi inovasi yang dipublikasikan sekitar setengah abad lalu, tepatnya tahun 1967 oleh Becker dan Whisler, ilmuwan dari University of Chicago bahwa inovasi merupakan proses setelah penemuan, inovasi adalah pekerjaan pertama atau awal dari sebuah ide. Rentetannya dimulai dari penemuan – inovasi – ide.
Jika diawali penemuan, maka peran riset sangat fundamental. Berbicara soal riset, sudah dimanakah posisi Indonesia? Apakah sudah bisa diperhitungkan, atau masih sekadar pengikut. Performa riset bisa dianalisa dari kinerja publikasi. Jika melihat data institusi pemeringkat publikasi kredibel Scimago (https://www.scimagojr.com/), tahun 2019 Indonesia ada di posisi cukup bagus yaitu di peringkat 21. Namun, kalau mengacu berdasar jumlah penduduk, sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, posisi 21 belum lah memuaskan. Dari data tadi bisa dikatakan bahwa riset sebagai pemacu inovasi belum terlalu diprioritaskan. Rilis terbaru Unesco Institute for Statistics menunjukkan Indonesia hanya menginvestasikan 0,1 % dari total produk domestik bruto (PDB) untuk anggaran Research and Development. Sangat miris. Kondisi ini tentu salah satu penyebab banyak permasalahan bangsa yang belum bisa diatasi. Mulai dari pangan, ekonomi, sosial, kesehatan, dan bidang-bidang lain.
Selama ini, impor beras merupakan komoditi yang paling disorot, karena perannya sebagai makanan pokok. Masih banyak masalah impor selain beras, misalnya komoditi kedelai. Beberapa tahun terakhir ini Indonesia mesti impor lebih dari 2 juta ton setiap tahun. Di bidang kesehatan, angka harapan hidup orang Indonesia termasuk kategori rendah, bahkan di luar peringkat 100 dunia berdasarkan data the United Nations Human Development Reports tahun 2019. Penyebabnya beragam, diantaranya sarana olahraga dan ruang terbuka hijau yang masih kurang. Belum optimalnya asupan protein, seperti susu, bahkan tingkat konsumsi susu orang Indonesia per kapita tidak masuk 150 besar dunia berdasarkan data Food and Agricultural Organization. Belum lagi masalah pemasaran hasil pertanian, kesenjangan sosial, ketidakpastian hukum, dan problem lainnya, Salah satu muaranya disebabkan riset yang merupakan pemacu inovasi perannya belum terlalu menjadi prioritas.
Tidak ada habisnya jika hanya mempersoalkan masalah. Dalam keterbatasan, kita mesti bisa memaksimalkan potensi, khususnya bagi milenial dan gen z. Hasil sensus penduduk terbaru menunjukkan persentasi milenial dan gen Z di atas 50 %. Potensi ini merupakan keuntungan, asalkan generasi muda sensitif dengan perubahan. Sesuai yang pernah disampaikan Presiden Republik Indonesia ke-5, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono bahwa yang survive, grow, and win adalah mereka yang tahu dunianya tengah dan telah berubah, kemudian ikut melakukan perubahan. Yang menjadi the winners adalah mereka yang adaptif, inovatif, dan open minded. Quote beliau tersebut penting untuk memunculkan sensitivitas terhadap perubahan sehingga terpacu untuk meningkatkan kualitas, lebih tekun, serta mampu mengubah masalah justru menjadi peluang.
Perubahan itu pasti. Misal seperti melimpahnya informasi di masa sekarang. Harus survive. Sebagai contoh, mesti mampu merujuk hasil-hasil riset dari seluruh dunia dengan mengakses jurnal ilmiah yang mayoritas saat ini menggunakan layanan bebas akses (open accessed). Hanya saja perlu modal, salah satunya mampu mencerna informasi dalam bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris. Oleh sebab itu, bagi gen Z penting sekali menguasai bahasa asing agar dapat memanfaatkan limpahan informasi, punya banyak referensi, kaya wawasan, sehingga cemerlang menyusun gagasan menyulap masalah menjadi peluang. Balik pada beberapa contoh masalah di atas. Impor beras dan kedelai disulap dengan gagasan diversifikasi pangan. Misal optimalisasi pemanfaatan kacang-kacangan yang punya potensi produksi tinggi di Indonesia seperti spesies Phaseolus vulgaris (termasuk buncis, kacang merah), Vigna unguiculata (termasuk kacang panjang, kacang tunggak), Cajanus cajan (kacang bali), Mucuna pruriens (koro benguk), dan spesies lainnya. Masalah rendahnya angka konsumsi susu, justru bisa menjadi peluang usaha ternak sapi susu karena pangsa pasar sangat besar. Masalah distribusi hasil pertanian, missal dengan membuat hall tempat berkumpulnya para agen sehingga petani mudah menyalurkan hasil panen, begitu juga penjual mudah memenuhi pasokan, dengan transparansi harga. Bisa hall secara fisik, maupun hall berbentuk aplikasi online. Ide-ide di atas sulit bisa keluar jika tidak menggali wawasan, tidak membuka pikiran. Pemenang adalah mereka yang adaptif, inovatif, dan berpikir open minded. Peran besar perubahan ada di tangan gen Z. Jika gen Z berwawasan, kaya gagasan, Indonesia akan berlimpah harapan.