Di abad ke-21, dunia yang kita tinggali telah mengalami perubahan yang amat pesat. Saat ini, dunia sedang menghadapi berbagai macam tantangan, ujian, dan disrupsi serta krisis multidimensi. Kondisi ini dapat memperburuk kehidupan umat manusia. Tentu, ini harus menjadi perhatian kita semua yang masih memiliki berkeinginan dan berharap atas dunia yang lebih baik.
Pandemi Covid-19 yang masih berkepanjangan telah menghadirkan mengakibatkan tekanan dan ketidakpastian terhadap tatanan ekonomi dan politik global. Di satu sisi, Selain berdampak pada sisi aspek kesehatan, pandemi juga telah menghadirkan membawa tren kemunduran demokrasi yang ditandai dengan menguatnya praktik resentralisasi kekuasaan, politik populisme dan eksploitasi politik identitas, menurunnya kebebasan sipil, hingga melemahnya prinsip transparansi dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan di berbagai negara. Di sisi lain, situasi pandemi ini juga masih menyisakan tekanan ekonomi yang ditandai oleh masih lemahnya daya beli masyarakat, belum optimalnya neraca perdagangan dan juga investasi global.
Kondisi ini diparah dengan adanya perang invasi Rusia ke Ukraina. Dunia seakan tak berdaya untuk menghentikan peperangan yang telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang besar. Perang tersebut juga berdampak pada rantai pasokan komoditas global hingga sehingga mendorong terjadinya inflasi dan resesi yang mengancam perekonomian internasional dunia. Tak hanya itu, perang Rusia-Ukraina juga diprediksi akan berperngaruh berdampak terhadap menguatnya instabilitas keamanan dunia, salah satunya di kawasan Indo-Pasifik. Keputusan Rusia menyerang Ukraina yang didukung oleh Barat, disebut-sebut berbagai kalangan disebut bisa memotivasi menginspirasi negara-negara lain untuk mengambil keputusan politik, keamanan dan pertahanan yang tidak terduga. Karena itu, berbagai pihak mulai mewaspadai menguatnya ketegangan di wilayah Laut China Selatan, meruncingnya sengketa kedaulatan wilayah teritorial Taiwan, hingga munculnya pakta pertahanan Australia, United Kingdom & United States of America (AUKUS) yang sering dibaca oleh masyarakat internasional disebut sebagai “rebalancing strategy” Barat.
Ketidakpastian ekonomi dan politik serta keamanan global berpeluang menjadi penghambat bagi berpotensi menghambat laju pertumbuhan dunia, utamanya terutama negara-negara berkembang yang tengah sedang berjuang membangkitkan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya rakyat pasca pandemi. Meskipun tanda-tanda kebangkitan itu sudah mulai terlihat, namun tetapi pergerakan ekonomi negara-negara berkembang tidak seperti yang diharapkan. Kondisi semakin kembali mendung karena dibayang-bayangi oleh fenomena kebangkrutan Sri Lanka yang seolah menjadi cermin pengingat bagi negara-negara berkembang lainnya untuk lebih berhati-hati dalam memahami fondasi ekonomi masing-masing agar tidak terlilit oleh jebakan hutang luar negeri yang tidak produktif dan tidak terkelola dengan baik.
Dengan latar belakang dan kondisi inilah kemudian Presiden ke-6 RI Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sekaligus Chairman The Yudhoyono Institute bersama dengan Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono menginisiasi sebuah forum diskusi sebagai bahan refleksi bersama dalam mencari solusi dari berbagai permasalahan dunia saat ini. Bertempat di Hotel Fairmont, Jakarta, The Yudhoyono Institute (TYI) bekerja sama dengan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) menggelar Roundtable Discussion (RTD) dengan tema “Geopolitik dan Keamanan Internasional, Ekonomi Global dan Perubahan Iklim” pada hari Kamis, 13 Oktober 2022. Acara ini dihadiri oleh sejumlah delegasi dari kedua belah pihak, baik dari TYI maupun UKM. Berikut adalah nama-nama pembicara yang hadir dan menyampaikan pandangannya terhadap topik terkait;
- Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (Chairman The Yudhoyono Institute)
- Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., M.PA., M.A (Executive Director The Yudhoyono Institute)
- Dato’ Ku Jaafar Ku Shaari (Secretary-General of the Developing Eight Organization for Economic Cooperation and former Malaysian Ambassador to Egypt and Palestine)
- Datuk Dr. Mohd Gazali Abas (Former Secretary-General, Ministry of Education, Malaysia)
- Dr. Mohd Fuad Jali (Honorary Professor of Geopolitical, Faculty of Humanities and Social Science, UKM)
- Dr. Aini Aman (Dean of Faculty of Economy and Management, UKM)
- Ahmad Rizal Mohd Yusof (Deputy Director of Information Technology Department, UKM)
- Dr. Fredolin Tangang (Faculty of Science and Technology, UKM & Formerly IPPC Working Group Vice Chair)
- Marty Natalegawa, B.Sc., M.Phil., Ph.D (Menteri Luar Negeri Indonesia Periode 2009-2014)
- Jusuf Wanandi (Senior Fellow and co-founder of CSIS)
- Yose Rizal Damuri (Direktur Eksekutif CSIS)
- Thomas Trikasih Lembong, AB (Menteri Perdagangan Indonesia Periode 2015-2016)
- Agus Purnomo MBA, MA (Director of PT Smart Tbk)
- Dino Patti Djalal, M.A. (Chairman of Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI))
- Dewi Fortuna Anwar, M.A, Ph.D (Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center)
- Professor Dr. Sufian Jusoh (Director Institute of Malaysian and International Studies (IKMAS, UKM), External Fellow, World Trade Institute, Switzerland, Malaysian Delegate to the ASEAN)
Geopolitik dan Keamanan Internasional
Pasca pandemi Covid-19, dunia membutuhkan spirit persatuan dan kebersamaan, untuk segera bangkit kembali dari keterpurukan. Namun, instabilitas keamanan global, yang ditandai oleh perang Rusia-Ukraina yang telah berjalan delapan bulan ini, justru memperburuk kondisi dunia. The 30
years of peace dividend in the post-Cold War seems to be over. Kondisi ini diperparah oleh dinamika hubungan bilateral sejumlah negara, bukan hanya di mandala Eropa, tetapi juga di mandala Asia, yang seolah membentuk “the arch of instability”. Rangkaian sel-sel konflik itu berpotensi memicu instabilitas keamanan baru. Jika tidak diantisipasi, garis merah instabilitas ini berpotensi melahirkan Perang Dunia ke-III.
Menyikapi isu geopolitik dan keamanan internasional yang terjadi akhir-akhir ini, Pak SBY pertama-pertama mengajak para peserta untuk melakukan refleksi singkat mengenai kondisi geopolitik dan keamanan global yang saat ini sedang diuji oleh beberapa peristiwa besar dan sangat nyata, yaitu Perang antara Ukraina dengan Rusia yang sampai saat ini masih berlangsung. Kondisi ini tentunya sangat mencederai semangat persatuan dan kebersamaan yang dibangun oleh negara-negara dunia sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II pada tahun 1945 silam. Perkembangan situasi di Ukraina, Eropa, semakin buruk, tidak terkendali, dan bisa menjurus ke perang besar. Miskalkulasi dan terjadinya unexpected incidents di lapangan setiap saat bisa terjadi. Begitu pula situasi di Asia Timur – yang kurang lebih bereskalasi, dengan ketegangan yang sangat tinggi, miskalkulasi dan insiden di lapangan bisa terjadi setiap saat. Itulah cikal bakal dari perang dunia dan perang nuklir yang sama-sama kita takutkan.
Di saat yang sama, kekhawatiran akan dampak perang ini juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif TYI, yaitu AHY yang memiliki concern terhadap ancaman inflasi, resesi ekonomi internasional, supply-chain komoditas, kelangkaan energi dan krisis pangan. Bahkan, World Bank dan IMF telah memprediksi, tekanan ekonomi di tahun 2023 mendatang akan jauh lebih berat, hingga berpotensi memicu krisis ekonomi, krisis energi, krisis pangan, dan juga resesi global. Kondisi ini harus diantisipasi bersama, khususnya negara-negara miskin dan berkembang.
Selanjutnya, para pembicara dalam topik ini juga memiliki concern yang sama, bahwa kondisi konflik horizontal yang terjadi antar negara di dunia ini memicu terjadinya instabilitas keamanan internasional. Maka, solusi konkrit dalam upaya menghentikan perang dan berbagai konflik antar negara ini harus benar-benar dibahas dalam satu forum atau meja antar negara. Forum G20 yang akan berlangsung di Indonesia pada bulan November 2022 nanti dirasa merupakan forum yang tepat dalam upaya untuk segera mungkin menyelesaikan konflik-konflik keamanan internasional ini. Artinya, setiap negara harus memiliki visi dan kesamaan tujuan dalam rangka menghentikan perang, utamanya yang sedang terjadi di Ukraina.
Ekonomi Global
Topik selanjutnya yang dibahas dalam RTD ini adalah mengenai kondisi ekonomi global yang sangat terdampak akibat berbagai gesekan dan konflik antar negara yang terjadi akhir-akhir ini. Ancaman resesi ekonomi global yang sudah diingatkan oleh berbagai lembaga, baik di tingkat nasional maupun internasional menjadi semacam alarm bagi negara-negara di dunia untuk melindungi negara dan masyarakatnya untuk meminimalisir dampak yang dihasilkan. Karena belajar dari sejarah, resesi ekonomi akan memicu adanya berbagai konflik sosial dalam negeri.
Awal tahun 2022 ini, ada sekitar 60 negara ekonominya bermasalah dan rasio utangnya telah lebih dari 100 persen terhadap PDB. Di tahun 2023, jumlah itu kemungkinan akan bertambah. Di sisi lain, China dan Amerika Serikat (AS), dua ekonomi besar dunia, tengah dihadapkan dengan perlambatan ekonomi. Di satu sisi, ekonomi China sangat melambat akibat kebijakan zero Covid-19, gelombang panas yang menggagalkan panen, dan kinerja manufakturnya yang kian menyusut.
Di sisi lain, ekonomi negara-negara besar sedang mengalami resesi, dan juga menghadapi tekanan inflasi yang tinggi. Kondisi itu mendorong bank sentral negara maju, khususnya The Fed Amerika Serikat, akan merespon situasi ini dengan pengetatan kebijakan moneter, dengan menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, Dolar AS menguat, sedang nilai tukar mata uang negara-negara kian melemah. Hari-hari ini, situasi tersebut sudah mulai kita rasakan. Di mana nilai tukar Rupiah telah melemah cukup signifikan, di angka Rp 15.200 hingga Rp 15.500 per Dolar AS.
Dalam kondisi ekonomi negara yang lemah saat ini, kemampuan negara-negara berkembang untuk membayar utang menjadi semakin terbatas. Apalagi jika bunga utangnya sangat tinggi, ruang fiskal menjadi kian terbatas. Kita dirasa harus bijak menentukan agenda pembangunan nasional.
Jangan sampai pengalaman Sri Langka yang mengalami kebangkrutan ekonomi, kembali terjadi dan terulang di sejumlah negara berkembang lainnya.
Isu Perubahan Iklim
Pola pembangunan dan sistem perekonomian di mayoritas negara di dunia yang tidak ramah lingkungan mulai dirasakan akibatnya. Beragam bencana yang terjadi di berbagai belahan dunia yang mengakibatkan tewasnya ratusan bahkan ribuan nyawa manusia akhir-akhir ini ditengarai sebagai dampak dari adanya krisis perubahan iklim yang turut mengubah kondisi lingkungan di seluruh dunia. Bahkan, menurut beberapa ahli lingkungan, krisis perubahan iklim ini terjadi lebih cepat dari yang ditakutkan selama ini. Kondisi ini, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap langkah strategi dan kebijakan yang harus disiapkan oleh negara-negara di dunia guna mengantisipasi dampak buruk dari adanya krisis perubahan iklim tersebut.
Kondisi ini berpotensi mempengaruhi 10 persen nilai total ekonomi dunia pada tahun 2050. Yang paling terdampak adalah negara-negara Asia karena bertumpu pada agrikultur. Langkah-langkah dekarbonisasi melalui inovasi teknologi dan promosi energi alternatif seperti energi matahari dan kendaraan berbasis listrik dapat dipertimbangkan. Negara dan sektor swasta harus bersinergi dan berkolaborasi untuk mengambil peran itu bersama-sama. Transfer teknologi dan pekerja pengetahuan dari negara-negara maju juga menjadi penting dan sangat dibutuhkan.
Kesimpulan
Menghadapi tiga permasalahan tersebut, kita semua harus benar-benar bersinergi, berkolaborasi, termasuk membangun dialog yang serius dari hati ke hati, untuk konsisten mempromosikan perdamaian global. Merespon hal ini, pemimpin dunia harus menjadi bagian dari solusi. Para pemimpin dunia tidak boleh menjadi bagian dari permasalahan. Karena itu, forum G20 Summit yang akan diselenggarakan di Bali pada pertengahan November, harus benar-benar menjadi ruang dialog para pemimpin negara, untuk menemukan solusi bagi ancaman krisis global ini. Indonesia dan anggota negara G20 lainnya harus memberikan pesan yang lebih jelas dan kencang kepada dunia bahwa dunia menginginkan perdamaian dan stabilitas. Untuk itu, dunia harus bersatu.
Untuk itu, masyarakat internasional, khususnya Indonesia, Malaysia, dan komunitas Asia Tenggara, harus benar-benar ikut mensponsori perdamaian global, sebagai prasyarat bagi kita untuk bangkit bersama dari keterpurukan ini. Kita harus memberikan dukungan penuh kepada pada pemimpin dunia di Forum G20, untuk berdialog mencari solusi. Tanggalkan dan tinggalkan ego masing-masing. Zero sum game or politics hanya akan menghancurkan fondasi keamanan dan ekonomi dunia. Perlu jiwa besar untuk menurunkan ego masing-masing pemimpin dunia, agar tidak lagi berhadap-hadapan, tapi fokus untuk memikirkan masa depan peradaban kita. Kita yakin, Indonesia bisa memainkan peran yang baik agar semua pemimpin dunia, menjadi bagian dari solusi untuk hadirnya dunia yang lebih aman dan sejahtera di masa depan.
Mudah-mudahan, melalui semangat “a better world is possible,” we can save our world and our planet.