Hari ini, 15 Maret 2022, menandai 19 hari ofensif militer Rusia ke Ukraina. Masyarakat dunia membaca bahwa situasi di Ukraina memang gawat dan sangat tidak menentu. Apapun bisa terjadi.
Apa yang bakal terjadi satu-dua minggu ke depan akan menjadi tonggak sejarah baru bagi negara itu. Sebetulnya bukan hanya milestone sejarah Ukraina, tetapi juga sejarah Rusia dan juga Eropa secara keseluruhan. Kemungkinan besar juga sejarah baru bagi Rusia dalam tatanan global.
Di sela-sela melakukan aktivitas utama saya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu melukis dan membina klub bola voli Lavani, hampir sepanjang hari saya menyimak perkembangan situasi di Ukraina. Berbagai perbincangan yang menarik di sejumlah televisi internasional juga terus saya ikuti.
Saya kira teman-teman masih ingat bahwa beberapa waktu yang lalu, saya telah mengeluarkan tweet berkaitan dengan perang yang tengah terjadi di Ukraina. Esensi dari cuitan saya tersebut ada tiga.
Pertama, tak ada yang tahu pasti seperti apa ujung atau akhir (end game) dari perang itu. Yang kita ketahui adalah perkembangan dan dinamikanya. Mungkin ada yang kreatif dan bisa membangun sejumlah skenario. Tetapi semua itu tetaplah hanya merupakan prediksi alias ramalan. Bisa benar, bisa salah.
Berbagai kalangan memang sudah memperkirakan bahwa Ukraina, sebagai negara, akan jatuh ke tangan Rusia. Setelah itu, meskipun kalah dalam perang konvensional, Ukraina akan melancarkan semacam perang gerilya atau operasi insurjensi. Jadi pasca pendudukan Ukraina oleh Rusia, dengan asumsi invasi Rusia sukses, akan terjadi perang berlarut (protracted war) di tanah Ukraina. Perkiraan seperti ini bisa iya, bisa juga tidak.
Esensi kedua adalah berkaitan dengan pertanyaan kritis apakah perang yang cukup dahsyat ini akhirnya bisa diselesaikan secara politik. Baik para politisi maupun jenderal sesungguhnya memiliki pengetahuan, belajar dari sejarah, bahwa perang kerap berakhir di meja perundingan. Boleh dikata, sebuah perang terjadi karena politik tidak bisa mencegahnya, tetapi kemudian politik pulalah yang akhirnya menjadi solusi.
Sedangkan esensi ketiga menyangkut dua hal serius yang tak boleh terjadi dalam peperangan di Abad ke-21 ini dan masyarakat dunia tak boleh pula membiarkannya. Apa itu? Jangan sampai sebuah perang, di manapun, antara siapapun, akhirnya menjelma menjadi peperangan dunia yang hampir pasti akan sangat destruktif karena penggunaan senjata nuklir tak bisa dielakkan. Ingat, Perang Dunia Pertama (1914-1918) korban jiwa mencapai 40 juta orang, sedangkan Perang Dunia Kedua (1939-1945) korbannya berjumlah 80 juta orang. Padahal sistem persenjataan dulu yang tidak secanggih dan semematikan sekarang, seperti halnya senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh sejumlah negara dewasa ini. Bayangkan kalau perang semacam itu terjadi lagi di Abad ke-21 ini.
Saya ingin menyampaikan bahwa saya memilih menggunakan istilah perang, dan bukan operasi militer khusus (special military operation) sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Putin, sahabat saya. Pengetahuan yang saya miliki selama hampir 30 tahun mengabdi di dunia militer, meniscayakan saya untuk lebih tepat menggunakan istilah perang ketimbang operasi militer khusus. Namun, bagi yang sependapat dengan istilah yang dipilih oleh Putin ~ operasi militer khusus, dan bukan perang ~ ya anggaplah istilah perang yang saya gunakan ini sama saja dengan istilah yang dipakai oleh Presiden Putin.
Saat ini saya tengah merenung dan berpikir, dan juga khawatir, kalau ada yang tergoda atau nekat (mungkin gelap mata) serta secara sadar menciptakan dan memulai terjadinya Perang Dunia Ketiga. Apalagi kalau mereka tak segan-segan menggunakan senjata nuklir. Mengikuti debat dan diskursus publik di berbagai media internasional, utamanya para pakar perang dan pertahanan, mulai disebut-sebut dua hal yang saya anggap tabu tersebut yaitu perang dunia dan perang nuklir.
Sementara itu, tidak sedikit pula yang mulai berpandangan bahwa sepatutnya segera dilakukan negosiasi dan perundingan bagi pengakhiran perang yang telah merenggut jiwa dan harta benda yang besar tersebut. Saya tertarik dengan pemikiran ini, meskipun jalan ke arah itu juga sangat tidak mudah.
Berdasarkan pengamatan saya ini, saya ingin urun pikir menyangkut isu besar yang amat kompleks, delicate dan memiliki beragam kepentingan ini. Apa yang hendak saya sampaikan ini benar-benar pendapat dan pikiran pribadi saya sebagai seorang warga dunia (citizen of the world). Mungkin tidak selalu sama dengan sikap dan pandangan pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah barang tentu saya mesti menghormatinya. Jadi benar-benar merupakan pemikiran pribadi saya yang sederhana, apa adanya, dan tidak mewakili siapa-siapa. Pandangan dan pemikiran ini saya kedepankan sebagai wujud kepedulian saya.
Saudara-saudara saya rakyat Indonesia banyak yang mengetahui bahwa boleh dikata saya telah “pensiun” dari kegiatan politik praktis (day-to-day politics) di dalam negeri kita. Kecuali, jika situasi nasional sedemikian rupa sehingga saya sangat, sangat dan sangat terpaksa untuk menyampaikan pendapat saya. Tentu akan saya sampaikan secara baik-baik, sesuai tata krama yang berlaku.
Namun saya berpikir bahwa peduli dan ikut berkontribusi pada terjaganya perdamaian, ketertiban dan keadilan dunia saya nilai sebagai panggilan. Bukan sekedar hak. Sungguhpun kini saya bukan pejabat publik di tingkat nasional dan juga internasional, saya tetap ingin memegang etika (sebagai mantan Presiden Indonesia) agar yang saya sampaikan proper dan politically correct.
Dalam menyampaikan pandangan-pandangan saya berkaitan dengan perang di Ukraina ini, saya memilih mengambil posisi tidak berpihak. Hal begitu akan memudahkan dan membuat saya terbebas dari subyektifitas yang justru akan melemahkan argumentasi yang saya bangun.
Kenangan Berdiskusi dengan Presiden Putin dan para World Leaders di Saint Petersburg
Saya ingin memulai dengan cerita tentang sebuah diskusi yang hangat, mungkin juga keras, yang dilakukan oleh para pemimpin dunia, ketika perang di Suriah tengah berlangsung dan situasinya sungguh sangat mengkhawatirkan.
Kegiatan itu terjadi pada tanggal 5-6 September 2013, ketika Leaders Retreat G20 dilakukan di kota Saint Petersburg. Diskusi dan silang pendapat bahkan berlangsung cukup lama dan juga alot. Ingat saya, Leaders Meeting itu dimulai pukul 18.00 (tanggal 5 September 2013) dan berakhir pada pukul 02.30 dini hari (sudah berganti hari). Topiknya tiada lain adalah situasi panas yang ada di Suriah.
Yang menonjol dalam pertemuan itu adalah adanya usulan bahkan desakan dari sejumlah leaders (presiden atau perdana menteri) agar Amerika Serikat segera melakukan intervensi militer ke Suriah, guna mengatasi krisis besar di sana. Desakan ini ternyata ditolak oleh sejumlah leaders yang lain, yang intinya sangat tidak setuju kalau Amerika turun secara militer di daerak konflik dan peperangan itu. Situasi memang panas dan sepertinya tak ada yang menawarkan jalan ketiga.
Waktu itu saya duduk di sebelah kiri Presiden Amerika Serikat Obama dan di sebelah kiri saya adalah Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr yang mewakili Perdana Menteri Kevin Rudd yang tengah menjalani pemilihan umum, dan pada G20 tahun berikutnya Australialah yang akan menjadi tuan rumah. Di sebelah Menlu Bob Carr adalah Presiden Putin selaku Chair dari G20 tahun 2013.
Sebenarnya saya tak ingin berbicara dalam retreat tersebut, karena saya sudah menulis surat yang berisi pandangan dan usulan saya tentang situasi di Suriah. Surat tersebut saya sampaikan kepada para pemimpin G20, sejumlah Kepala Pemerintahan bukan anggota G20 yang memiliki kepentingan dan relevansi dengan konflik di Suriah, dan sudah barang tentu Presiden Suriah Bashar al-Assad serta Sekjen PBB Ban Ki-moon. Bahkan saya menyempatkan diri untuk bertemu langsung dan berdiskusi dengan Ban Ki-moon yang juga hadir dalam pertemuan puncak G20 di Rusia tersebut. Apa yang saya tulis dalam surat dan sampaikan langsung ke Sekjen PBB itulah yang secara sangat singkat saya sampaikan dalam leaders retreat yang panas tersebut, dengan menambahkan pendapat saya tentang perlu-tidaknya Amerika Serikat melancarkan aksi militer ke Suriah.
Melihat dinamika dari Leaders Retreat itu akhirnya saya memutuskan untuk ikut bicara. Kemudian, pada pukul 23.30, saya sampaikan pandangan saya. Esensi dari intervensi saya dalam pertemuan tersebut ada dua.
Pertama, saya tidak setuju kalau Amerika Serikat melancarkan aksi militer ke Suriah karena itu bukan opsi yang tepat. Masalah akan menjadi semakin rumit, dan tidak menjamin intervensi militer itu bisa menyelesaikan persoalan. Apalagi dunia terbelah dalam menanggapi rancangan serangan militer Amerika Serikat tersebut.
Yang kedua, sungguhpun serangan AS itu tak dilakukan bukan berarti dunia tidak berbuat apa-apa (do nothing). Dibiarkan saja apa yang terjadi di Suriah yang sudah sangat mengkhawatirkan itu. Saya berpendapat krisis kemanusiaan, yang ditandai dengan banyaknya korban jiwa yang meninggal (yang tergolong innocent dan tidak berstatus sebagai kombatan) dan gelobang pengungsi yang jumlahnya juga sangat besar dengan segala drama dan penderitaannya itu tak sepatutnya dibiarkan. Jika dunia membiarkan (in action) tentu secara moral tidak bisa diterima.
Khusus yang kedua ini saran saya konkret. Saya mengusulkan agar PBB dan negara-negara besar memikirkan sebuah cara untuk memberlakukan gencatan senjata, agar tragedi kemanusiaan dan human suffering bisa dikurangi secara signifikan. Jika memang terbuka jalan untuk menyelesaikan masalah secara politik, akan jauh lebih baik lagi karena perang dan konflik besar di Suriah itu bisa diakhiri. Tetapi saya sadar bahwa tak semudah itu mengakhiri konflik yang sudah meluas itu, sehingga yang saya usulkan adalah cease–fire yang lebih memungkinkan.
Berbicara tentang mengubah peperangan menjadi penyelesaian secara politik, (tentu tidak saya sampaikan dalam forum itu), ada contoh yang baik yaitu konflik di bekas negara Yugoslavia (terkenal dengan Perang di Bosnia), yang seluruh dunia tahu bahwa korban kemanusiaan besar sekali dan situasinyapun juga sangat kompleks. Tetapi sebuah gencatan senjata akhirnya bisa dilakukan. Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan sejarah untuk ikut mengemban tugas di sana, dalam misi perdamaian PBB.
Mengapa cerita ini saya sampaikan?
Situasi di Ukraina , sebagaimana situasi di Suriah, ataupun situasi di Yugoslavia dulu, selalu ada jalan untuk mencegah dan mengakhiri penderitaan kemanusiaan yang tak semestinya terjadi. If there is a will, there is a way. Jika ada kemauan, ada jalan.
Saya amat tahu bahwa situasinya sangat tidak mudah, dan semakin rumit ketika negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi yang berat terhadap Rusia. Saya bukan pula seorang utopis. Dalam hubungan internasional dan politik luar negeri saya berpijak pada aliran realisme. Dunia tak seindah bulan purnama. Kita semua harus siap dan bisa hidup dalam dunia yang tak pernah damai dan menjadi ajang benturan kepentingan nasional yang juga tak akan pernah usai. Saya sangat mengerti semuanya itu. Tetapi, menurut saya, kondisi dan situasi yang berat itu jangan menyurutkan prakarsa dan aksi nyata untuk mencegah terjadinya krisis kemanusiaan akibat perang, di manapun di dunia ini. Tidakkah dalam politik segalanya menjadi mungkin. Otto von Bismarck pernah mengatakan bahwa politics is the art of the possible.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa perang di Ukraina ini hanya menjadi urusan dan kepentingan Rusia dan Ukraina, atau paling jauh Eropa. Atau barangkali hanyalah kepentingan NATO yang tengah berhadapan dengan Rusia. Tak ada kepentingannya dengan negara-negara lain. Jadi diam sajalah. Tak perlu ikut-ikutan.
Saya memiliki pandangan yang berbeda.
Terhadap pendapat bahwa sebaiknya pihak yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik antara Rusia dan Ukraina tidak perlu melibatkan diri, agar situasi tidak makin rumit dan membawa konflik ke medan yang lebih luas, saya setuju. Saya pikir Indonesia termasuk negara yang “tak terlibat” dalam konflik ini, sehingga seharusnya kita memang tak perlu masuk ke dalamnya. Saya kira akal sehat juga mengatakan bahwa tak akan mungkin tiba-tiba Indonesia, meskipun sejak 2008 Indonesia kerap disebut regional power (negara terbesar di ASEAN) dan world player (anggota G20), masuk dalam direct confrontation antara NATO dengan Rusia.
Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa negara manapun tidak mungkin tidak peduli dan kemudian abstain terhadap masa depan dunia serta masa depan kemanusiaan sejagad jika konflik di Eropa ini dampak buruknya akan dipikul oleh semua bangsa. Jangan sampai kita yang tidak ikut-ikutan, “tidak berdosa”, tiba-tiba ikut kena getahnya.
Begini yang saya maksudkan.
Jika sanksi ekonomi dari pihak Barat dan sejumlah negara terhadap Rusia yang makin luas ini, dan kemudian Rusia membalasnya, dan akhirnya terjadi perang ekonomi berskala besar, saya yakin dampaknya akan sangat dahsyat. Perang ekonomi tentu bukan sekedar pemberian sanksi, embargo, perdagangan dan investasi semata, tetapi bisa sangat luas. Jika perang ekonomi ini berlangsung dengan sengitnya pasti akan terjadi disruption dalam perekonomian global. Hubungan supply-demand pada barang dan jasa pada perekonomian global yang saat ini sangat connected dan interdependent akan terguncang, sehingga bisa menimbulkan kelangkaan barang dan jasa itu disertai dengan peningkatan harga (inflasi tinggi). Siapa yang menjadi korban? Pastilah rumah tangga dan masyarakat luas. Ekspor dan impor pasti akan terganggu juga, sehingga lebih menekan lagi pertumbuhan (growth) pada tingkat global, dan dengan sendirinya pada tingkat nasional. Jika pertumbuhan anjlok, gelombang pengangguran akan terjadi dan penghasilan masyarakat akan menurun.
Masih segar dalam ingatan kita ketika dunia mengalami depresi atau setidaknya resesi global yang dalam (deep) pada tahun 2008, yang hingga kinipun sebenarnya masih ada dampaknya, padahal krisisnya sudah 10 tahun lebih. Secara pribadi saya ikut aktif mencari solusi agar resesi besar itu segara berlalu, melalui forum G20, APEC, ASEAN dan forum internasional yang lain. Terus terang jalan yang dilalui panjang dan penuh rintangan. Padahal, padahal… hubungan antar pemimpin dunia waktu itu, utamanya dalam kerangka G20 dan APEC, dua forum yang semua pemimpin dari ideologi dan sistem politik apapun boleh dikata akrab, hangat dan baik. Semua melakukan upaya yang serius baik secara nasional, regional maupun internasional. Tetapi hasil dan jalannya tetap tidak mudah.
Kalau krisis ekonomi global itu terjadi sekarang, yang dipicu oleh adanya perang ekonomi menyusul serangan Rusia ke Ukraina, apa yang akan terjadi? Saya khawatir hanya negara-negara besar yang ekonominya kuat sajalah yang bisa mengatasi dampak buruknya, sementara negara berekonomi sedang apalagi lemah akan menanggung beban yang terlampau berat.
Pikiran semacam inilah yang membuat saya harus berani mengatakan bahwa sebaiknya dunia mencegah memburuknya situasi kemanusiaan di Ukraina, mencegah terjadinya perang dunia dan perang nuklir, serta mencegah pula terjadinya perang ekonomi yang makin tajam, meluas dan indiskriminatif.
Enam Isu Besar Ke Depan
Membahas peperangan yang sedang terjadi di bumi Eropa saat ini, dengan segala implikasi dan ikutannya, cakupannya amat luas. Apalagi jika kita ingin bicara tentang Eropa dan dunia di masa depan pasca perang di Ukraina ini, termasuk kemungkinan terbangunnya tatanan dunia yang baru. Tentu saya tidak bermaksud untuk mengupas setiap aspek dan dimensi dari peperangan itu. Saya ingin membatasi pada enam hal besar yang menurut saya cukup relevan.
Enam isu besar yang saya maksud adalah (1) Prospek perang di Ukraina, (2) Gencatan senjata untuk aksi kemanusiaan, (3) Penyelesaian konflik secara politik, (4) Kelanjutan dari perang ekonomi, (5) Masa depan hubungan Barat dan Rusia, (6) Tatanan dunia baru pasca perang Rusia-Ukraina.
Guna memudahkan teman-teman mengikuti pemikiran dan pandangan saya tentang dampak dan implikasi dari perang Rusia-Ukraina terhadap Eropa bahkan dunia, artikel ini akan saya bagi dua.
Bagian pertama saya batasi pada pembahasan tiga hal yang pertama ~ prospek perang di Ukraina, gencatan senjata untuk aksi kemanusiaan dan penyelesaian konflik secara politik. Sedangkan tiga hal berikutnya, yang juga tak kalah pentingnya serta memiliki dimensi yang lebih makro, yaitu perang ekonomi, masa depan hubungan Barat dan Rusia, serta tatanan dunia baru pasca perang Rusia-Ukraina, akan saya sampaikan pada bagian kedua (mungkin dengan judul yang berbeda dan dengan penambahan substansi). Tulisan kedua ini saya niatkan untuk saya lepas beberapa hari mendatang.
Izinkan saya sekarang untuk menyampaikan pandangan saya satu-persatu. Saya meminta maaf jika apa yang saya sampaikan tidak terlalu komprehensif, karena memang tidak saya niatkan demikian. Tulisan ini bukanlah academic paper ataupun sebuah analisis ilmiah. Saya hanya ingin menyampaikan pikiran saya atas dasar pengetahuan dan pengalaman dalam hubungan internasional, geopolitik dan keamanan, perang dan pertahanan negara serta perekonomian global. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
- Prospek Perang di Ukraina
Sebagian kalangan memperkirakan bahwa pada akhirnya, dalam hitungan minggu, Ukraina akan jatuh ke tangan Rusia. Setelah itu, diperkirakan pula Rusia akan mengganti rezim saat ini dengan pemimpin dan pemerintahan yang didukungnya. Sudah barang tentu pemerintahan yang pro Rusia. Begitu prediksi berbagai kalangan. Terhadap prediksi ini saya memilih untuk tidak memberikan komentar ataupun tanggapan.
Saya ingin mengangkat isu lain dari Perang Rusia-Ukraina, dari perspektif yang berbeda. Terutama kelanjutan dari konflik di Ukraina ini, baik dari segi politik maupun militer.
Kelak akan dapat diketahui apakah keberhasilan Rusia menduduki Ukraina tersebut, dengan asumsi Rusia berhasil melakukannya, merupakan kemenangan taktis dan sekaligus kemenangan strategis. Juga akan diketahui apakah baik tujuan militer (military objective) maupun tujuan politik (political objective) yang Rusia tetapkan keduanya dapat dicapai.
Mengapa hal ini saya angkat?
Sejarah banyak memberikan pelajaran dan juga menunjukkan contoh-contohnya.
Banyak kajian yang dilakukan di Amerika Serikat pasca Perang Vietnam yang melibatkan tentara Amerika di negeri itu. Salah satu kajian yang mendapatkan perhatian kalangan militer adalah sebuah kesimpulan bahwa Amerika banyak memenangkan pertempuran tetapi kalah dalam peperangan. Oleh karena itu ada buku kecil tentang Perang Vietnam, yang ditulis Kolonel Harry Summers, dari US Army War College, yang berjudul “On Strategy”. Kesimpulan dan narasi utama yang diangkat adalah “Tactical Victory, Strategic Defeat”. Dalam kaitan perang di Ukraina itu kelak akan diketahui apakah, sekali lagi, Rusia mendapatkan kemenangan baik secara taktis maupun secara strategis.
Perihal apakah sebuah perang dapat mencapai tujuan militer sekaligus tujuan politik juga banyak ditunjukkan dalam sejarah. Menurut pendapat saya, ketika Amerika melancarkan perang ke Afganistan pasca serangan Twin Building di New York tahun 2001, dan beberapa saat kemudian perang ke Irak, secara militer sebenarnya relatif berhasil. Namun, seiring dengan perjalanan perang yang panjang, yang akhirnya yang dihadapi Amerika adalah aksi-aksi insurjensi, tentara Amerika memang dibikin repot. Barangkali ini serupa dengan yang dihadapi oleh Uni Soviet ketika melancarkan perang yang panjang di Afghanistan, yang berakhir di penghujung Perang Dingin.
Negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan perang konvensional, apalagi yang mengandalkan pertempuran besar (big battle) serta ingin menyudahi secara cepat (short duration) dan dengan korban yang minimal (low casualties), belum tentu sukses menghadapi aksi-aksi gerilya dan insurjensi. Kultur perang konvensional amat berbeda dengan kultur perang gerilya maupun anti gerilya.
Apalagi kalau perang itu dibarengi dan ditumpangi oleh kepentingan dan tujuan politik, seperti “regime change” dan memaksakan sistem politik yang berbeda (sistem demokrasi misalnya), akhir dari sebuah peperangan sering tidak mulus, bahkan malapetaka yang timbul. Oleh karena itu, sebelum perang dilancarkan, perumusan tentang strategic objective yang dipilih harus sangat jelas. Tujuan dan sasaran strategis itu haruslah diyakini bisa dicapai (realistic, doable, achievable). Siapa yang merumuskan sasaran strategis tersebut? Tiada lain adalah para pemimpin politik dan pemimpin militer, dengan tentunya disetujui oleh pemimpin tertinggi di negara itu.
Aspek lain yang hendak saya sampaikan adalah seberapa sukses bakalan Rusia dalam perang di Ukraina ini. Juga seberapa cepat sasaran dapat dicapai. Jawabannya tentu berada pada pihak Rusia sendiri. Apakah pelaksanaan perang itu sesuai dengan rencana yang telah disiapkan, termasuk korban di pihak sendiri yang diperkirakan.
Banyak teori dan doktrin dalam sebuah peperangan. Banyak ahli strategi perang, baik yang ajarannya klasik maupun yang modern, baik dari negara Barat maupun Timur, baik perang yang simetris maupun asimetris, ataupun baik perang konvensional maupun non konvensional. Tentu saya tak hendak mengupas ajaran, teori serta strategi dan taktik itu.
Saya hanya akan menyampaikan tiga hal mendasar dalam sebuah perang, yang penting bagi sebuah tentara dalam melancarkan peperangan. Dalam kaitan perang di Ukraina, apa yang akan saya sampaikan ini sebenarnya menjawab berbagai pertanyaan banyak pihak.
Yang saya maksud dengan tiga hal penting itu adalah pemahaman pihak yang berperang (warring parties) terhadap apa yang disebut “strategic center of gravity”, “line of operations” dan “culminating point”. Diyakini siapa yang mengerti dan menerapkan dengan baik tiga hal ini akan menjandi pemenang. Dalam kaitannya dengan perang yang saat ini tengah berlangsung di Ukraina, siapapun yang mengaplikasikan tiga hal penting ini, Rusia atau Ukraina, pada akhirnya akan sukses.
“Center of gravity” pada prinsipnya adalah sebuah “titik” apabila dipukul dan dirusak maka keseluruhan kekuatan lawan akan goyah, tidak seimbang dan kemudian lawan bisa dihancurkan. Mungkin definisi ini agak sulit dipahami, oleh karena itu lebih baik saya berikan contohnya. Center of gravity Rusia barangkali Presiden Putin sendiri sebagai “strong leader”, tentara Rusia yang besar dengan persenjataan yang canggih dan modern, serta kekuatan ekonomi Rusia utamanya minyak dan gas yang dimilikinya. Di pihak Ukraina, center of gravity barangkali bisa dirumuskan sosok Presiden Zelensky yang “tough” dan menunjukkan keberanian dan kepemimpinannya, Kiev sebagai ibukota Ukraina sekaligus simbul eksistensi negara, dan bantuan negara lain yang bakal meningkatkan persenjataan, dana dan logistik perang Ukraina.
Ini semua hanya sebuah contoh dari strategic center of gravity yang barangkali bisa dirumuskan, baik bagi Rusia maupun Ukraina.
Hal penting yang kedua adalah apa yang disebut dengan “line of operation”.
Yang dimaksud dengan line of operation adalah kekuatan dan kesiapan sumberdaya, dana dan logistik yang dimiliki oleh pihak yang berperang, serta memastikan dukungan dan pengaliran logistik ke seluruh jajajaran tentara tak akan pernah putus atau terhenti. Hal ini penting agar operasi dan manuver pasukan tidak terganggu akibat menipis dan kurangnya logistik yang diperlukan. Dalam peperangan yang panjang, faktor logistik ini menjadi semakin penting. Ingat perang itu mahal, apalagi jika kekuatan yang dikerahkan besar.
Tentang pentingnya ketersediaan dan distribusi logistik yang sangat diperlukan oleh pasukan, kita memperoleh banyak pelajaran dari sejarah. Dulu, baik Napoleon maupun Hitler boleh dikatakan gagal dalam merebut Moskow karena logistik yang diperlukan oleh pasukannya dalam manuver yang panjang dan juga menembus dinginnya cuaca tidak mencukupi.
Hal penting ketiga adalah apa yang dinamakan dengan “culminating point”.
Untuk memudahkan pemahaman tentang “culminating point” adalah dengan mengamati “pergerakan” matahari setiap harinya, mulai dari terbit hingga terbenam. Sejak terbit di pagi hari hingga tengah hari posisi matahari terus naik hingga titik puncak, sebelum menurun dan akhirnya terbenam di senja hari. Dengan contoh ini bisa saya sampaikan bahwa dari dimensi waktu, dalam perang di Ukraina ini, pihak Rusia bisa menentukan kapan kemenangan itu bisa dicapai sebelum bergeser ke posisi yang menurun, dan akhirnya gagal. Tentu ada sifat relatifnya. Bagi Rusia, jika berbulan-bulan tidak membuahkan hasil yang diharapkan, bisa jadi dari sisi culminating point operasi militernya meleset.
Dengan penjelasan ini siapapun bisa mengetahui kelak, siapa yang paling tepat dan benar dalam mengaplikasikan tiga hal mendasar dalam perang tersebut, sehingga berhasil mencapai tujuan militernya. Penjelasan ini juga menutup pandangan saya tentang seperti apa prospek dan kelanjutan perang yang saat ini tengah berlangsung di Ukraina.
- Gencatan Senjata untuk Aksi Kemanusiaan
Mungkin ada pihak yang berpendapat mengapa sulit sekali dilakukan gencatan senjata, baik yang sifatnya sementara (ditentukan waktunya) maupun yang lebih permanen (biasanya disertai dengan perundingan dan negosiasi). Kerap terjadi, proses politik yang dilakukan oleh para pihak yang berperang ini menghasilkan solusi politik (“peaceful” political solution) yang baik.
Pihak yang gusar dan tidak sabar itu biasanya berangkat dari empati yang mendalam terhadap korban perang dan penderitaan kemanusian pada kalangan penduduk. Pikir mereka, jika gencatan senjata dapat dilakukan, maka terbuka jalan untuk membantu mereka yang menderita akibat perang, termasuk pemberian fasilitas dan bantuan untuk mengungsikan mereka ke tempat yang relatif aman. Niat dan prakarsa baik semacam ini sepertinya sederhana dan mudah. Begitukah dalam dunia nyata?
Mungkin tidak demikian.
Bagi para pemimpin perang, jika gerakan pasukannya lancar dan manuver-manuvernya justru menuju ke arah kemenangan, hampir pasti tidak tertarik dengan ide gencatan senjata itu. Mereka pikir kemenangan sudah di depan mata, kenapa harus terhenti dan dihentikan. Begitu ajaran perang dan pertempuran yang dianut di dunia militer. Sebaliknya, bagi pihak yang sangat tertekan dan tidak memiliki kemampuan dan peluang untuk memajukan lagi gerakan pasukannya, ide gencatan senjata itu akan sangat didukungnya. Saved by cease–fire. Pandangan ini tentu masuk akal.
Dalam sebuah konflik bersenjata, prakarsa untuk melakukan gencatan senjata ini, sering berasal dari pihak ketiga, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena dinilai ada jalan dan peluang untuk mengubah perang militer itu menjadi proses politik yang dapat menghadirkan “win-win solution”. Sejarah juga banyak mencatat bahwa peperangan, seberapapun dahsyatnya, akhirnya berakhir di meja perundingan. Demikian pula konflik intra negara, misalnya antara pemerintah dengan kaum separatis atau insurjen, atau pula konflik komunal yang horizontal sifatnya, kerap pula diselesaikan di meja perundingan dan negosiasi.
Yang saya jelaskan ini adalah bagaimana sebuah gencatan senjata diambil, diikuti oleh perundingan dan penyelesaian secara politik. Namun, perlu saya sampaikan bahwa prakarsa baik ini tidak selalu mudah dalam realisasinya. Banyak juga yang tidak sukses dan kemudian perang dan pertempuran terjadi lagi, bahkan sering lebih sengit. Khusus isu ini, ~ mungkinkah gencatan senjata (cease-fire) di Ukraina menuju penyelesaian politik dilakukan ~ akan saya sampaikan pandangan saya secara lebih luas di bagian akhir dari tulisan ini.
Ada satu alasan lagi untuk dilakukan gencatan senjata berdurasi singkat dengan tujuan pemberian bantuan kemanusiaan ~ sebagaimana yang kini banyak diusulkan agar dilakukan di Ukraina. Atau seperti yang pernah saya usulkan dalam forum G20 tahun 2013 di Saint Petersburg dulu, agar terbuka jalan dan peluang (di Suriah) untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Lebih jauh lagi , gencatan senjata itu juga bertujuan untuk mencegah human suffering yang ekstrem di negeri yang tengah dilanda konflik dan kekerasan yang hebat itu.
Setelah saya mengikuti perkembangan situasi kemanusiaan di Ukraina, saya berpikir memang aksi-aksi kemanusiaan perlu dilakukan. Jangan salah terima seolah saya begitu saja mempercayai semua pemberitaan yang menggambarkan tragedi dan derita kemanusiaan di Ukraina. Saya tetap kritis dalam melihat atau mendengar pemberitaan tentang serba-serbi perang di Ukraina. Saya harus tetap berpijak pada akal sehat, agar saya tidak termakan oleh propaganda dari pihak tertentu, apalagi menjadi korban hoax dan fake news. Tetapi, dari sumber-sumber yang kredibel dan dapat dipercaya penderitaan penduduk (non kombatan) memang “exist” dan telah melampaui batas normal. Artinya secara moral, pihak-pihak yang berperang, harus membukakan jalan untuk pemberian bantuan kenanusiaan melalui gencatan senjata sementara (truce). Truce ini harus dihormati dan dipatuhi oleh kedua belah pihak. Masyarakat internasional, utamanya PBB, tidak boleh abstain dan tidak peduli dengan aksi kemanusiaan ini.
Khusus tragedi kemanusiaan sebagai dampak dari sebuah peperangan, menurut pendapat saya tidak boleh tidak ada yang peduli. Para pemimpin dunia tak sepatutnya membiarkan dan tidak mencari jalan untuk mengatasinya. Dapatkah kita, barangkali dalam situasi yang aman, bisa makan baik-baik dan mendengarkan musik di dalam rumah kita, sementara melalui layar televisi kita saksikan sendiri kaum perempuan, termasuk yang lanjut usia dan anak-anak yang menderita bahkan untuk bertahan hidup sekalipun tidak mudah? Jika kita benar-benar menghayati Pancasila, yang memiliki nafas kemanusiaan (humanity), tentulah hati kita akan tergerak dan rasa empati kita akan timbul. Pikiran kita juga akan bekerja bagaimana cara mengakhiri tragedi kemanusiaan seperti itu.
Perasaan empati dan pikiran ikut berbuat untuk mencegah jatuhnya korban dan penderitaan akibat perang, tidak terbatas pada kondisi dan situasi penduduk di Ukraina saat ini. Ini mesti berlaku bagi semua negara, semua bangsa. Empati kita harus sama terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dan menderita di wilayah perang dan konflik. Di manapun dan dalam konflik apapun, tragedi kemanusiaan itu bisa jadi ada di Bosnia dan bekas negara Yugoslavia yang lain, di Sudan, di Gaza, di Afghanistan, di Irak, di Libanon, di Suriah, di Yaman, dan saat ini memang ada di Ukraina.
Mungkin ada yang bertanya tidak bisakah tragedi kemanusian dalam peperangan itu dicegah dan dihindari?
Saya harus menjawab seperti ini.
Selalu ada ekses dalam sebuah peperangan. Selalu terjadi kerusakan tambahan dalam sebuah pertempuran (collateral damage). Juga akan selalu ada korban dari pihak sipil yang sebenarnya berstatus non kombatan. Namun, korban dan tragedi semacam itu bisa dikurangi dan jumlahnya tidak melebihi kepatutannya. Para pemimpin militer memiliki tanggung jawab untuk itu. Perang memang keras. To kill or to be killed. Tetapi, pelaku perang, prajurit profesional bukanlah mahluk buas yang boleh membunuh dan memangsa siapapun yang dimauinya. Perang dan pertempuran tetap ada aturannya. Ada moral dan etikanya. Para panglima dan komandan satuan tempur di medan perang harus memastikan hukum dan konvensi perang yang berlaku secara universal dijaga dan dipatuhi.
Di bagian akhir dari pasal tentang mengapa sebuah gencatan senjata, baik yang sifatnya sementara maupun yang lebih permanen diperlukan, saya ingin berbagai pengalaman dengan teman-teman yang mengikuti pandangan saya ini. Barangkali ini penting agar tidak ada komentar miring seolah saya hanya berteori belaka, dan tidak ada implementasinya. Seperti istilah yang diplesetkan ~ “nato” ~ no action, talk only. Saya berupaya untuk tidak hanya “talk the talk”, tetapi “walk the talk”. I want to say what I do, and do what I say. Satunya kata dengan perbuatan. Hal begini sering tidak mudah, tapi tetap bisa dilakukan.
Ada sejumlah pengalaman saya, bersama teman-teman, ketika menangani konflik di dalam negeri. Jadi jenis konflik yang berdomain internal security. Baik yang bersifat horizontal, misalnya konflik komunal di Sampit, di Poso dan di Ambon dan Maluku Utara, maupun konflik bersenjata di Aceh yang sifatnya vertikal.
Ketika menjadi Menko Polkam, bersama Pak Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat sebagai Menko Kesra, kami berdua pernah mengusahakan sebuah penghentian permusuhan (cessation of hostilities) antara pihak yang berbenturan baik di Poso maupun di Maluku dan Maluku Utara. Akhirnya, setelah melalui meja perundingan tercapailah kesepakatan damai di wilayah-wilayah konflik itu. Meskipun dalam implementasi perjanjian di Malino itu masih ada benturan di sana-sini, tetapi dengan semangat baru, gangguan terhadap kesepakatan Malino itu secara keamanan dapat diatasi oleh unsur keamanan. Sebelum penyelesaian konflik di ketiga provinsi tersebut, sebetulnya saya juga aktif menangani konflik horizontal di Sampit yang akhirnya juga membuahkan solusi yang lebih permanen.
Pengalamaan tentang gencatan senjata yang akhirnya berlanjut ke perjanjian damai di Aceh, saya juga memiliki pengalaman yang menurut saya sangat berharga.
Dalam konflik bersenjata di Aceh yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun, di samping operasi militer yang dilakukan negara, belakangan juga diikhtiarkan sebuah pengakhiran konflik secara damai. Dari semua ikhtiar itu ada dua peace process yang akhirnya mengubah jalannya sejarah. Pertama adalah Geneva Agreement, yang menjadi jalan dan prakondisi menuju peace process yang lebih permanen. Kedua adalah Helsinki Agreement yang menghadirkan solusi damai, yang alhamdulillah membawa berkah bagi Aceh dan keluarga besar bangsa Indonesia.
Guna membuktikan janji-janji saya bersama Pak Jusuf Kalla ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden tahun 2004, insya Allah konflik Aceh akan kita selesaikan secara damai, satu bulan setelah mengemban tugas sebagai Presiden, di Aceh saya menyerukan dan mengajak GAM untuk mengakhiri konflik dan menyelesaikan konflik secara damai. Ketika terjadi musibah besar tsunami pada akhir Desember 2004, saya serukan dan ajak lagi secara lebih kuat dan konkret agar konflik benar-benar diselesaikan dengan baik. Saya masih ingat ketika mengambil keputusan dan langkah yang sebenarnya berisiko tinggi, yaitu memerintahkan TNI dan Polri untuk menghentikan operasi keamanan dan kemudian membantu operasi tanggap darurat untuk membantu masyarakat Aceh yang sungguh menderita. Untuk kesekian kalinya saya serukan lagi ajakan saya ke GAM. Alhamdulillah, momen itu bagai membuka jalan yang tak terbayangkan sebelumnya, dan akhir kata Agustus 2005 secara formal konflik bersenjata Aceh bisa kita akhiri.
Lagi-lagi Indonesia bisa mengakhiri sebuah konflik panjang secara damai, setelah sejumlah konflik horizontal juga dapat diselesaikan di meja perundingan.
Dalam konflik di dunia internasional, Indonesia juga memiliki banyak pengalaman untuk menjadi mediator maupun peacekeeper. Indonesia bisa menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah. Yang ingin saya ceritakan adalah peran Indonesia untuk mencari solusi bagi pengakhiran konflik internasional di era pemerintahan yang saya pimpin, yang saya sendiri ikut aktif di dalamnya.
Ada dua cerita yang Indonesia aktif mencari solusi yang baik. Pertama, berkaitan dengan konflik Israel dengan Libanon, dan kedua konflik teritorial antara Thailand dan Kamboja.
Pada tahun 2006, kembali meletus konflik Israel-Libanon, dan situasinya menurut saya juga gawat. Terutama dari sisi kemanusiaan, atau korban pada penduduk sipil. Atas prakarsa Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi dan saya sendiri, yang kebetulan sedang bertemu di Jakarta, diselenggarakanlah Pertemuan Puncak OKI (Organisasi Kerjasama Islam) di Kuala Lumpur. Pertemuan puncak itu sendiri diberi nama Emergency Session of OIC, dengan agenda utama membahas dan mencari solusi atas situasi di Libanon itu. Ingat saya yang hadir antara lain Presiden Iran Ahmadinejad, Perdana Menteri Turki Erdogan, dan Perdana Menteri Libanon Siniora. Tiga nama tersebut perlu saya sebut karena semuanya punya kepentingan dan keterkaitan dengan situasi di Libanon.
Dalam pertemuan penting itu, sebagai salah satu pengusul, saya mengajak para pemimpin OKI yang hadir waktu itu untuk mendesak PBB, termasuk Dewan Keamanan PBB, segera dilakukan gencatan senjata agar perdamaian (peace) bisa kita jaga lagi. Untuk menunjukkan keseriusan Indonesia agar apabila gencatan senjata bisa dilakukan, saya tegaskan bahwa Indonesia siap mengirim kontingen militer satu batalyon mekanis diperkuat, agar gencatan senjata itu tidak dilanggar dan kemudian kembali kepada konflik dan peperangan baru. Alhamdulillah, pasca pertemuan Kuala Lumpur itu “peace” bisa dihadirkan, dan Indonesia menjadi bagian dari “peacekeeping mission” di negara itu hingga sekarang.
Cerita kedua berkaitan dengan peran kita sebagai mediator konflik antar negara adalah apa yang kita kontribusikan dalam penyelesaian konflik antara Thailand dan Kamboja. Waktu itu, tahun 2011, terjadi lagi insiden kekerasan bersenjata antara kedua negara sesama anggota ASEAN tersebut. Tahun 2011 itu Indonesia menjadi Ketua ASEAN, dan digelar dua kali pertemuan puncak ASEAN, sekali di Jakarta dan sekali di Bali. Mengingat tidak ada tanda-tanda kedua negara tersebut menempuh jalan damai, maka sudah mulai dibicarakan, bahkan kemungkinan akan diangkat di tingkat PBB. Namun, kebijakan PBB (Sekjennya adalah Ban Ki-moon, salah satu sahabat baik saya) masih percaya bahwa ASEAN bisa menyelesaikan sengketa ini. Di Jakartalah, akhirnya kita temukan solusinya, meskipun pertemuan segitiga antara Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Pedana Menteri Thailand Abhisit dan saya sendiri selaku Chair of ASEAN juga tidak mudah dan cukup panas. Namun, dengan kerangka penyelesaian solusi yang saya ikut merumuskannya, akhirnya perundingan dan negosiasi bisa dilakukan. Hasilnya baik, sehingga tidak perlu sengketa teritorial antara kedua negara itu dibawa ke PBB.
Semua cerita saya ini, pengalaman Indonesia dalam resolusi konflik, adalah contoh nyata bahwa sepelik dan sesulit apapun upaya untuk menyelesaikan sengketa secara damai, secara politik, tetap saja ada peluang untuk itu. Demikian juga gencatan senjata, apapun tujuannya, juga sangat mungkin untuk dilakukan.
Secara pribadi, meskipun tidak memiliki kekuasaan apapun, saya sungguh berharap gencatan senjata (truce) untuk aksi kemanusiaan di Ukraina bisa dilakukan. Lebih jauh lagi, saya juga sungguh berharap terjadi peace process antara Rusia dan Ukraina dengan dukungan masyarakat dunia, utamanya negara-negara di Eropa, agar solusi konflik secara politik itu bisa dilakukan. Peluang dan kesempatan masih terbuka.
- Penyelesaian Konflik Secara Politik
Saya amati, pemikiran untuk menyesaikan konflik Rusia-Ukraina ini makin mengemuka. Makin santer. Saya jadi ikut senang dan juga memiliki harapan baik. Semoga terwujud.
Diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Perancis Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Presiden Turki Erdogan dan tentu masih ada pemimpin dunia yang lain, wajib kita berikan apresiasi. Saat ini sungguh sangat diperlukan tampilnya pemimpin dari great powers atau major powers untuk mendinginkan suasana, agar konflik di Ukraina ini tidak meluas menjadi konflik di Eropa. Apalagi meluas ke seluruh dunia. Ingat, Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua juga bermula dari bumi Eropa.
Tetapi, pertanyaannya, mungkinkah itu dilakukan?
Saya termasuk orang yang optimis ~ cautious optimism. Kalau masyarakat dunia bersatu dan mendorong dengan serius dilakukannya peace process atau penyelesaian secara politik, jalan ke arah itu selalu ada. Sebagai seorang mantan presiden dan seorang jenderal sebenarnya saya tidak terlalu cemas jika konflik ini hanya antara Rusia dan Ukraina. Menurut saya, pada akhirnya akan ada “settlement”. Konflik bersenjata seberat apapun masih bisa “dilokalisasi” dan dicegah untuk melebar ke mana-mana. Tetapi kalau faktor geopolitik sudah masuk dan juga perang ekonomi telah berlangsung dan makin keras, kemungkinan meluasnya konflik beyond Ukranian border sangat mungkin terjadi. Inilah yang dicemaskan banyak pihak, termasuk saya.
Proses politik sebagai pengganti perang atau juga sebagai jalan untuk resolusi konflik intra negara, pada hakikatnya sama. Political deal atau peace deal akan tercapai, jika pihak-pihak yang bersengketa sama-sama mendapatkan “manfaat”. Sebuah win-win solution, dan bukan zero sum game. Pengalaman pribadi saya dalam ikut mencari solusi dalam resolusi konflik, sungguh diperlukan determinasi yang kuat dan kesabaran yang tinggi. Proses negosiasinya bisa sangat melelahkan, dengan segala pasang surutnya. Karenanya, tidak sedikit peace process yang kandas di tengah jalan.
Jika harus ada mediator dan fasilitator, maka mediator tersebut harus sabar mendengarkan tuntutan dan keluhan dari pihak-pihak yang bersengketa. Listening session harus dibuka seluas-luasnya. Dengan sudah dikeluarkan semua yang ada dalam benak pemikiran Rusia dan Ukraina, barulah terbuka jalan bagaimana mengakurkan tuntutan dan keinginan yang hampir 100 persen berbeda dan bahkan bertentangan itu. Di sinilah akan terjadi tawar menawar. Jika pihak-pihak yang bersengketa bersedia untuk melakukan “take and give” dan bersedia pula untuk mundur satu langkah, kompromi dan kesepakatan akan didapat.
Pihak ketiga, termasuk mediator, harus bisa mendudukkan diri bagaimana jika menjadi Presiden Putin atau juga Presiden Zelensky. Sebagai contoh, Rusia melancarkan ofensif militer ke Ukraina ini tentu ada alasan utamanya. Benarkah sikap, posisi dan kebijakan para pemimpin Ukraina saat ini oleh Presiden Putin dinilai sebagai “threat to Russian National Security”? Mungkinkah Rusia merasa tidak nyaman dan bahkan “insecure”, menyaksikan perubahan drastis negara-negara di Eropa Timur yang dulu menjadi sekutu Rusia (Uni Soviet), baik di bidang politik, ekonomi dan pertahanan. Mungkinkan Putin menganggap yang dilakukan oleh NATO dan Uni Eropa itu “too much” dan juga “too far”, sehingga dianggap telah “cross the line”.
Pemahaman tentang threat perception dari Rusia ini di satu sisi, dan bagaimana pula persepsi Ukraina terhadap Rusia dan Putin pribadi, mungkin masih bisa diperpanjang lagi daftarnya.
Jikalau, akhirnya terbuka jalan untuk sebuah peace process, semua pihak harus sungguh bersiap kalau mesti terjadi proses “take and give” yang belum dibayangkan sebelumnya. Mencapai “a great, new deal” mungkin sebuah pekerjaan yang sangat tidak mudah dan diperlukan upaya yang ekstra keras. Tapi, ya begitulah dunia nyata kita. Bisa sangat melelahkan, tetapi sebuah peace process dan political solution jauh lebih baik dibandingkan perang.
Teman-teman, saya harus berhenti di sini. Mudah-mudahan semuanya sabar membaca tulisan saya ini. Insya Allah, bagian kedua dari pemikiran dan pendapat saya tentang konflik Rusia-Ukraina akan saya sampaikan dalam waktu dekat.
Menarik.
Ditunggu lanjutannya.
Terimakasih. 🙏
Ditunggu lanjutannya.
Terimakasih. 🙏
I do agree your opinion is objective, Indonesia should be netral as you propouse
Terima kasih atas pandangannya pak SBY, sungguh sangat informatif. Mudah mudahan jalan terbaik dapat di tempuh untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina.
Semoga konflik rusia-ukraina segera berakhir dengan win win solution. Pihak ketiga yang punya kepentingan atas konflik ini agar segera sadar bahwa kemanusian itu lebih penting daripada kepentingan politik nya sendiri.
HS
Malam Pak SBY, terima kasih sudah memberikan pandangan Bapak terkait konflik yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Menurut pandangan Bapak, langkah seperti apa yang sebaiknya dilukan Indonesia terkait hal ini, mengingat ada Singapura yang merupakan bagian dari Asean memberikan sanksi ekonomi, dikhawatirkan semakin banyaknya sanksi ekonomi akan meningkatkan ekskalasi konflik. Kemudian, Bagaimana kondisi geopolitik di asia dan asean karena banyaknya negara-negara yang terpecah, bahkan yg memberikan sanksi dan dukungan.
Terima kasih Pak, semoga akan terjawab di tulisan Bapak selanjutnya.
Terima kasih sharing ilmu dan pengalamannya Pak SBY.
Salam Pak SBY, semoga sehat selalu dan berkah dalam keluarga.
Pak, bagi kerjaan lah..
saya mantan supir,
Assalamualaikum wr wb bapak
Tulisannya sangat berbobot dan memberikan gambaran bagaimana peliknya urusan negara khususnya ketika terjadi perang.
Terima kasih telah berbagi cerita dan pengalaman serta pandangan bapak.
Ijin sedikit menukil tulisan bapak
“Dunia tak seindah bulan purnama. Kita semua harus siap dan bisa hidup dalam dunia yang tak pernah damai dan menjadi ajang benturan kepentingan nasional yang juga tak akan pernah usai. ”
Entah kenapa kalimat tersebut begitu menarik bagi saya
Salam dari Pekalongan
Wassalamu’alaikum wr wb