Oleh: Oleh: Samti Wira Wibawati S.Sos, M.Si (Han)
Demokrasi hingga saat ini dipercaya sebagai satu sistem pemerintahan yang paling dominan dalam dinamika politik domestik dan global. Demokrasi diyakini sebagai satu sistem yang menekankan pada model pengelolaan kekuasaan dengan mengasumsikan prinsip-prinsip intrinsik semua individu, kebebasan berpikir dan otonomi individu pada penghargaan nilai etis kehidupan (Aron, 1993; Dahl, 1992; Hook, 1994), yang kemudian hal tersebut termanifestasi sebagai nilai kemanusiaan yang secara kultural melekat hingga menjadi elemen penting dalam berbangsa dan bernegara.
Secara prosedural, demokrasi diyakini terus menjadi corak yang dibutuhkan oleh satu negara untuk berdiri dalam upaya menjaga marwah kebangsaan dari negara itu sendiri. Namun, berdirinya sistem demokrasi tersebut sejatinya tidak boleh berhenti dalam tataran prosedural semata. Perlu ada penguatan yang menyeluruh dalam setiap sendi-sendi demokrasi yang menghubungkan tiang-tiang Pemerintahan melalui satu bentuk dukungan serta kontrol dari masyarakat, penguasa dan elit politik. Sehingga demokrasi dapat hidup dan berhasil menciptakan satu iklim pemerintahan yang maju, kondusif, terukur dan adil dalam skema kehidupan sosial berbangsa dan bernegara.
Dalam arti kata paling sederhana, demokrasi hadir untuk menjadi alat kontrol dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan yang lainnya. Namun, tentu tidak ada nilai yang bebas dari ancaman kecacatan termasuk nilai-nilai demokrasi itu sendiri meski memang belum ada sistem lain yang mampu mensubtitusi keberhasilan nilai-nilai ideal demokrasi untuk menjaga stabilitas berbangsa dan bernegara. Huntington (1995) dalam studinya mengatakan bahwa, setiap bentuk dukungan pada nilai-nilai demokrasi dapat melemahkan atau mendelegitimasi kekuasaan otoriter, yang dilain sisi dapat menguatkan aturan pemerintahan yang demokratis serta mampu mengantisipasi adanya kemungkinan pemerintahan yang demokratis tersebut runtuh dalam kekuasaan tirani.
Namun dilain sisi gelombang demokrasi yang ada bisa saja berbalik arah menjadi cambuk bagi stabilitas pemerintahan, mengingat bahwa kebebasan akan nilai intrinsik yang menjadi elemen dasar demokrasi tersebut dapat mengancam kebutuhan eksistensial individu untuk merasa aman dari ancaman dan ketidakpastian realitas. Kondisi ini kemudian teramplifikasi dalam skala yang lebih besar, dimana individu yang merasa terancam atas nilai demokrasi tadi diartikan sebagai sebuah sistem kekuasaan yang terancam pada upaya demokratisasi yang datang dari kekuasaan lainnya. Hal ini menjadi negasi dari keinginan penguasa utama untuk mencapai kepentingan entah dalam kerangka subjektif yang konstruktif atau destruktif.
Mengutip apa yang dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa sebuah kekuasaan harus dikontrol atau diawasi oleh kekuasaan yang lain. Maka hal ini berarti, kekuasaan yang menjadi pusat pada pusaran sistem kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dikontrol secara berani, arif dan bijaksana oleh kekuasaan lainnya melalui perwujudan nilai-nilai demokrasi. Hal ini tentu berlaku juga pada kekuasaan yang menitikberatkan pada perwujudan nilai-nilai demokrasi; mengingat bahwa ketika demokrasi diyakini sebagai satu nilai yang positif maka demokrasi ini akan menjadi alat kontrol yang baik dengan menekankan pada nilai check and balance, kebebasan sipil, penegakan hak asasi manusia, toleransi dan keadilan sosial yang secara masif dapat menyeimbangkan dinamika polarisasi kekuasaan serta pembangunan ekonomi yang merata dan berkelanjutan. Namun, jika nilai-nilai demokrasi tersebut termanifestasi dalam satu sistem yang berdiri tegak tanpa dikontrol dan bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang sebagai prinsip berbangsa dan bernegara di Indonesia misalnya, tentu bisa mengancam nilai eksistensial yang stabil dan aman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tadi. Apalagi ditengah kemajuan zaman yang sudah membiaskan batas-batas konvensional dalam kehidupan masyarakat yang bisa membaurkan nilai-nilai adiluhung kebangsaan Negara Republik Indonesia. Sementara, dunia menuntut peradaban yang maju, tangguh, modern, adaptif, dan inovatif dalam menjalani gempuran. Hal ini, menjadi tuntutan tersendiri bagi Bangsa yang perlu dipecahkan dengan solusi bersama. Yakni dimana Indonesia mampu digdaya ditengah konstelasi global dengan tetap menjaga nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, atas nama peradaban, maka menghidupkan kembali demokrasi yang cerdas, adil dan bijaksana melalui satu upaya kontrol yang menyeluruh, kuat, lantang namun santun adalah hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia.