Oleh: Ali Yazid Hamdani
Saya sangat bersyukur menjadi bagian dari Indonesia, negara agraris yang memiliki air yang ruah melimpah, sungai-sungai berserakan dimana-mana, dikelilingi pegunungan, keragaman hayati dan nabatinya, dihiasi lautan, dan tanahnya pun begitu subur, bahkan hampir setiap orang memiliki tanaman buah dan sayur di halaman rumahnya, jangankan ditanam, sebiji buah yang terbuang saja akan tumbuh dengan sendirinya. Dan ini sangat berbeda dengan kawasan Arab yang sebagian besar adalah padang pasir, tempat para Nabi dan Rasul terdahulu berdoa meminta rezeki. Bahkan tidak ditemukan riwayat yang menyebutkan bahwa Indonesia pernah ditinggali oleh seorang nabi atau pun yang sekedar melewatinya saja. Namun nikmat yang pernah diminta oleh para nabi hampir kesemuanya Allah tempatkan di Indonesia. Alhamdulillah.
Selain itu, Indonesia merupakan negara yang menduduki urutan pertama dengan jumlah populasi muslim terbanyak di dunia, negara terbesar ke-4, dan nomor urut kedua ihwal luas hutan yang dimilikinya setelah Brazil sehingga diberikan laqob negara yang berperan sebagai paru-paru dunia karena letak posisinya yang strategis dengan luas hutan yang dipunya. Begitu fantastis bukan?
Memang tidak bisa dipungkiri keberadaan hutan sangat penting bagi keberlagsungan kehidupan, dan beragam kemanfaatan lainnya sangat berkait erat dengan sistem ekologis seperti halnya sebagai penopang air tanah, penyejuk suhu bumi, penyedia oksigen, dan termasuk kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida untuk memperlambat pemanasan global.
Namun sialnya, hutan yang ada terus mengalami degradasi, deforestasi lebih cepat daripada reforestasi, misalnya seperti kebakaran hutan, penebangan pohon secara liar, dan sebagainya. Data yang disuguhkan SiPongi Karthula Monitoring Sistem menyatakan bahwa di tahun 2019 jika ditotal rekapitulasi luas kebakaran hutan dan lahan paling tidak mencapai 1,6 juta (1,649,258) ha, yang terjadi sepanjang tahun 2019 ini, lagi-lagi dikejutkan dengan angka yang cukup dibilang woww. Sementara kasus di tahun di tahun 2020 mencapai 296,942 ribu ha. Meskipun jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, angka 300 ribu kurang sedikit itu masih cukup mengganggu.
Bisa dibayangkan berapa mahluk hidup yang harus kehilangan tempat tinggal karena terlumat si jago merah? Dan selanjutnya akan berdampak pada ketimpangan ekosistem yang semakin kacau, belum lagi dampaknya terhadap kehidupan manusia. Ini hanya satu faktor dari deforetasi, belum lagi ihwal penebangan secara liar, dan pembabatan hutan dengan dalih pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya?
Belum lagi kemajuan teknologi yang kian hari makin pesat, pabrik-pabrik serta industri semakin hari tumbuh subur, pembangunan gedung-gedung bertingkat tak kalah sengitnya, menjadi faktor lain. Entah itu berupa penanaman kelapa sawit, kepentingan industri, tambang, atau pun fasilitas umum lainnya yang mengatasnamakan untuk menumbuh-kembangkan perekonomian.
Bukan bermaksud menolak pembangunan, dan sungguh sekali pun tidak. Sejauh itu membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia. Mengapa harus ditolak. Namun yang sangat disayangkan dalih pembangunan yang mengeksploitasi alam secara berlebihan, alih-alih mensejahterakan, justru memunggungi kesejahteraan yang melahirkan krisis baru berupa krisis lingkungan. Hal demikian justru dapat merugikan kita yang mengalaminya saat ini, dan tentu anak cucu kita nanti.
Krisis ekologi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah bersumber dari paradigma berpikir manusia yang bercorak antroposentris, di mana manusia dipandang sebagai pusat kehidupan dari alam dan seakan-akan manusia memiliki hak kuasa penuh atas alam sehingga mampu berbuat seenaknya, menjadikan alam sebagai sarana memperkaya diri tanpa memikirkan dan mempertimbangkan akibat-akibat yang akan muncul setelahnya. Bahkan sangat berpotensi mengundang banyak bencana, mulai dari pemanasan global, lapisan ozon yang menipis, banjir, dan lainnya.
Hal inilah yang harus kita pecahkan sebagaimana dikehendaki bapak Susilo Bambang Yudhono “Ada Mitos yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkuangan tidak mungkin dicapai secara bersamaan. Harus ada yang dikorbankan. Mitos ini harus kita patahkan. ” Betapapun sulitnya, ekonomi dan lingkungan harus segera mendapatkan perhatian dan harus begandeng tangan, baik dengan merumuskan sistem perekenomian yang ramah lingkungan ataupun memberikan edukasi dan pemberdayaan sumber daya manusia yang ada untuk mengoptimalkan potensi alam Indonesia sesuai dosisnya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan alam.
Walllahu a’lam bi al-shawab