Oleh: Sofah D. Aristiawan
Apa yang salah dari demokrasi? Keharusannya menentukan hasil sebuah kesepakatan dalam formula suara terbanyak. Memang, adanya rembukan akan memberikan konklusi yang jauh lebih arif. Tapi benarkah apa yang arif itu bisa dikatakan arif, ketika kita pun pada akhirnya bermusyawarah untuk tidak mufakat, lalu mengambil jalan voting dengan segera? Betulkah kebenaran itu mesti milik suara paling banyak? Adakah alternatif lain agar siapa yang salah tidak ditentukan dari jumlah acungan tangan –seperti yang menimpa Socrates lebih dari 2.400 tahun lalu di negeri Athena?
Socrates divonis hukuman mati. Suara mayoritas juri dari total keseluruhan 501 warga yang punya hak memilih menghendaki itu. Dari apa yang dialami gurunya itu membuat Plato beranggapan bahwa demokrasi telah salah kaprah. Sehingga, ia lebih memilih perlunya penguasa yang luar biasa kendati tidak demokratis dalam menjalankan kekuasaannya, ketimbang diserahkan lewat keputusan orang banyak yang tak mumpuni.
Kita yang hidup di abad 21 ini tentu dengan sigap menolak usulan Plato itu yang lebih dekat pada otoritarianisme yang lambat laun pasti represif. Tapi agaknya kita bisa bersepakat, ketika Plato punya kriteria tersendiri tentang apa yang “luar biasa” itu, yang harus ada dalam diri penguasa atau pengambil keputusan: “Mereka yang penuh kebajikan dan dianugerahi kecerdasan untuk menjalani hidup yang tak bersentuhan dan terlibat dengan emas dan perak, di mana mereka tidak datang untuk hidup di bawah atap yang sama dengan emas dan perak, atau mengenakannya pada tubuh mereka, atau minum dari piala emas dan perak.” Penguasa dilarang bermegah-megahan, apalagi mengisi kantong pribadinya dengan serakah. Ia mesti arif.
Lantas boleh kita bertanya: Mungkinkah ada sosok penguasa ideal yang didambakan Plato? Di saat kita tak bisa ingkar akan kenyataan bahwa manusia selamanya cela dan tersembunyi nafsu untuk sewenang-wenang dan memperkaya diri sendiri, jika tanpa sebuah sistem yang memaksanya agar tak berlaku demikian.
Kita tentu mengerti apa yang dirasakan Plato yang gusar melihat Socrates berakhir tragis dengan menenggak racun. Padahal baginya, sang guru tidaklah mencuri atau membunuh, ia sekadar mempertanyakan apa saja. Tapi toh ia dihukum juga, dengan catatan: hukuman mati yang dijatuhkan itu sah, karena diambil secara demokratis.
Lalu apa itu demokrasi? Tak ada juru bicara tunggal yang mampu mengatakan seperti apa format yang benar dari demokrasi. Sebab, ada ambiguitas dari dalam dirinya yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat itu. Maksudnya, anggaplah Socrates itu pihak yang benar dan “suara terbanyak” itu salah, dan darinya, kita bisa bilang demokrasi telah salah kaprah.
Namun, sejarah kontemporer punya cerita lain. Yang tak akan pernah kita lupa ialah era kejayaan Adolf Hitler. Sebutlah Hitler beserta Partai Nazinya sebagai puak yang salah, yang justru memenangkan pemilu 5 Maret 1933 dengan total suara 43,9% (288 dari 647 kursi parlemen). Dari hasil itu, bisakah kita kembali menyalahkan formula suara terbanyak –serupa apa yang dikeluhkan Plato? Dan apakah saat itu sebagian besar warga Jerman tak mumpuni, sebab secara sadar mereka memilih seorang yang justru mengakhiri pemilu dan mematikan apa itu hidup demokratis, tak lama setelah Hitler duduk di singgasana kekuasaan? Kemudian kita tahu, sejak 1933 itu Jerman dipimpin seorang despot. Ia monster pengumbar kebencian yang terus menabuh genderang perang. Dan dari situ, demokrasi juga menemukan kegagalan.
Menariknya, sistem suara terbanyak itu ternyata tak menutup kemungkinan lahirnya otoritarianisme bahkan totalitarianisme, justru membidaninya. Tapi apa itu otoritarianisme? Sebegitu seramnya kah otoritarianisme bila kita anggap sebagai antonim dari demokrasi dalam pengertian suara terbanyak?
Tentu kita dengan gampang mencari contohnya di masa ketika dunia memilih tren monarki atau kerajaan atau khilafah yang tak mengenal apa itu suara terbanyak. Karena, segala keputusan ada di tangan sang raja atau khalifah secara mutlak. Bolehlah kita mengatakan kesemena-menaan kekuasaan. Plato pasti tak menginginkan formula seperti itu, meski dengan tegas ia pun tak suka dengan demokrasi khas suara terbanyak.
Tetapi, kita akan dibuat bingung saat sejarah mengantarkan kita pada sosok Umar bin Abdul Aziz, misalnya. Seorang Khalifah Dinasti Umayyah awal abad ke-8 Masehi. Sebab dengan corak monarki absolut atau khilafah, kemungkinan untuk sewenang-wenang besar adanya –dan ia justru tak demikian. Perangainya tak seperti seorang khalifah pada umumnya. Ia seorang sufi. Tahun 717 Masehi, setelah penobatannya, yang buat kita setengah tak percaya, ia mengumpulkan seluruh harta bendanya untuk diserahkan pada Baitul-Mal. Ia mulai berkuasa dengan melepas emas dan perak.
Jadi nampaknya, apa yang dimaksud Plato itu tercermin dari keseharian Khalifah Umar II itu, pun garis kebijakannya yang pro-rakyat, sampai pada capaiannya yang luar biasa: bayangkan, sampai batas-batas terjauh, dari pantai Lautan Atlantik dan Pyrenees (pegunungan yang terbentang antara Spanyol dan Perancis) hingga ke Indus dan perbatasan Cina tak ditemukan satu orang pun yang layak menerima bantuan zakat. Artinya, apa itu hidup makmur relatif merata.
Lalu kita keheranan, dari kisah sang khalifah yang lahir bukan dari rahim demokrasi khas suara terbanyak itu pun nyatanya menampik kekhawatiran para penganjur demokrasi yang berkesimpulan bahwa bentuk pemerintahan monarki absolut atau khilafah itu pasti ujungnya sewenang-wenang dan buat merana rakyat. Dari fakta itu, bolehkah kita mengatakan kalau otoritarianisme (dalam arti tak adanya paksaan dari sebuah sistem pada penguasa untuk tak semena-mena) itu tak buruk-buruk amat?
Tapi agaknya, penguasa luar biasa yang dinginkan Plato, mereka yang luhur moralnya dan tak sewenang-wenang itu bisa saja muncul dari sistem manapun. Boleh jadi, munculnya Khalifah Umar II dalam monarki absolut/khilafah atau Hitler dalam demokrasi itu persoalan hasrat yang berbeda saat duduk berkuasa. Jadinya kita bisa bilang, apa pun sistemnya, toh kembali lagi pada manusianya. Sebab, sistem mutakhir yang kita anggap terbaik pun justru bisa melahirkan seorang despot. Apalagi monarki absolut atau khilafah yang celah untuk sewenang-wenang terbuka sangat. Sehingga yang ada, untung-untungan saja dapati penguasa serupa Umar bin Abdul Aziz, misalnya.
Kita tak bisa selamanya menunggu sang “Juru Selamat” atau “Ratu Adil” atau “Khalifah” untuk menempati tiap kursi bupati, wali kota, gubernur, apalagi presiden. Memang, kritik yang disampaikan Plato soal suara terbanyak yang menyalahkan siapa yang benar (kasus Socrates) dan membenarkan apa yang salah (perkara Adolf Hitler) itu benar adanya. Tapi, dari ketidaksempurnaannya itu manusia belajar, pada akhirnya, demokrasi akan terus dilengkapi dan pasti tak akan marah bila ada koreksi. Seminimalnya, ada distribution of power, ada kekuasaan lain yang mengontrol atau mengawasi mereka yang berkuasa –yang sedari awal menjabat rentan akan godaan. Power must not go unchecked.
Bisa jadi, seburuk apa pun formula suara terbanyak itu, ia tetap tak lebih buruk dari sistem manapun yang tak mengakui apa itu suara terbanyak.