Oleh: Brigitta Stefi
Diskursus mengenai perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045 dihadapkan pada tantangan pembangunan Indonesia pada kurun waktu 10 tahun terakhir yang semakin kompleks. Nota Keuangan 2020 mencatat bahwa APBN jangka menengah dan jangka panjang membawa tantangan baru yang perlu mendapat penanganan serius, meliputi kinerja perekonomian global dan domestik yang masih menghadapi risiko ketidakpastian dan dampak pandemi COVID-19. Selain itu terdapat pula tantangan terkait terbatasnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi; kualitas dan daya saing sumber daya manusia; terbatasnya kapasitas produksi dan daya saing; dan isu lain seperti kemiskinan, bencana, kesenjangan serta permasalahan desentralisasi fiskal.
Dikaitkan dengan pengelolaan negara menuju Indonesia Emas 2045 peran pemimpin yang efektif (effective leader) sebagai ujung tombak pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam konteks ini pemimpin yang efektif dituntut untuk dapat memberi arah organisasi, mengelola konflik, melakukan pengawasan serta menentukan target dan sararan yang komprehensif dan terukur, dengan peran serta aktif seluruh komponen bangsa dalam sebuah orkestrasi kebangasaan. Hal tersebut sangat relevan dengan konsep yang disampaikan oleh Presiden RI ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sebuah jargon: “transformasi menuju Indonesia 2045 memerlukan visi dan strategi yang besar, yang dijalankan oleh segenap komponen bangsa yang benar-benar bersatu dan bekerja keras di bawah kepemimpinan putra-putri terbaik bangsa”
Pemimpin yang Efektif
Merujuk pada Obama (2009), kemampuan pemimpin dalam mengelola institusi terdefinisi dalam efektivitas institusi tersebut. Lebih lanjut, Gibson (2012) menyatakan bahwa keberhasilan dan kesinambungan pembangunan bangsa ditentukan pula oleh desain pemerintahan yang sangat ditentukan oleh kondisi spesifik suatu bangsa.
Mengacu pada Mandela (1993), kondisi spesifik tersebut dapat terkait dengan tingkat kematangan bangsa, diversitas, lingkungan fisik dan non fisik, serta interaksi bangsa. Dikaitkan dengan budaya milenial, kondisi spesifik tersebut menjadi
semakin kompeks karena adanya perkembangan teknologi dan arus informasi. Sementara itu, dalam konteks analogi negara sebagai suatu organisasi kekuasaan yang disampaikan oleh Logemann (1975), serta dari sudut pandang negara yang modern dan beragam, salah satu tipe struktur organisasi yang modern yang dapat diadopsi adalah machine bureaucracy, yaitu bentuk organisasi yang rapi dengan fungsi yang terspesialisasi, memiliki prosedur kerja formal dengan unit yang besar, serta memiliki beberapa operating core.
Kinerja
Selain desain organisasi, pengukuran kinerja merupakan salah satu titik sentral dalam evaluasi organisasi, terlebih pada organisasi yang formal seperti instansi pada sektor publik. Gaspersz (2005) mengungkapkan bahwa suatu pengukuran kinerja akan memberikan informasi yang berguna bagi peningkatan pengetahuan pemimpin dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Dengan melakukan komparasi antara kinerja organisasi privat dan publik, Hood (1991) menyatakan bahwa kinerja organisasi publik yang dianggap tertinggal dari organisasi privat dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengukuran kinerja bagi organisasi publik. Lebih lanjut, Michaela & Giovanni (2010) menyatakan bahwa pengukuran kinerja organisasi dijadikan sebagai instrumen yang mampu mengubah organisasi publik untuk mencapai efisiensi dan efektivitas seperti organisasi privat.
Manajemen Konflik
Beberapa literatur mengungkapkan bahwa konflik merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sebuah konsep organisasi, termasuk negara sebagai sebuah organsisasi besar. Mandela (1993) menekankan bahwa dalam konteks organisasi dan negara, interaksi sosial, politik dan ekonomi selain dapat menciptakan kerja sama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Lacey (2003) mengungkapkan bahwa konflik akan memancing daya kreasi dan inovasi anggota organisasi baik secara individu maupun secara kolektif, sehingga pemecahan konflik dalam pemerintahan bukanlah berarti menghilangkan konflik itu sendiri.
Pengendalian dan Asas Umum
Prinsip pengendalian dalam kerangka efisiensi dan efektivitas pemerintahan sangat erat kaitannya dengan konsep tata pemerintahan yang
baik (good governance). Undang-Undang Nomor 30 tahun 2015 tentang Administrasi Pemerintahan konsep good governance merumuskan kerangka konseptual Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik yaitu merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi: kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Dari sudut pandang negara sebagai organisasi kekuasaan mengutip dari Logemann (1975), pemerintah memiliki kewenangan yang sah atas kebijakan negara secara terlembaga, sehingga tata kelola pemerintahan tidak dapat dipisahkan dari konteks good governance. Tata kelola organisasi yang baik pada pemerintah dapat dilihat dalam konteks mekanisme internal maupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus pada bagaimana pimpinan negara mengatur jalannya institusi kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi negara dengan pihak eksternal berjalan dengan harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan negara.
Merangkum seluruh uraian tersebut di atas, kehadiran pemimpin yang efektif, pengaturan dan desain pemerintahan yang optimal, mekanisme pengukuran kinerja dan kontrol pemerintahan serta manajemen konflik diperlukan untuk mengakselerasi dan menjaga kesinambungan pembangunan nasional dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Dalam konteks ini seluruh elemen bangsa akan sepakat dan menggarisbawahi jargon Bapak SBY bahwa dalam transformasi menuju Indonesia 2045 diperlukan visi dan strategi yang besar, partisipasi seluruh elemen bangsa serta kepemimpinan dari putra-putri terbaik bangsa yang bersih, kredibel dan akuntabel.