Oleh: Rudi Hartono pegiat Nasional Institut Jakarta
Sejatinya kekuasaan bukan entitas yang bebas kepentingan. Keterikatan terhadap kepentingan tertentu merupakan hal yang inheren dalam diri kekuasaan. Sehingga logis kalau kemudian ada beragam macam kepentingan saling berkompetisi dan berkontestasi memenangkan kekuasaan. Sampai dii titik ini netralitas kekuasaan menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan, sebab yang terpenting adalah memastikan kekuasaan dapat berlaku objektif dan berjalan sesuai dengan koridornya.
Tapi, bagaimana memastikan agar kekuasaan berlaku objektif, tidak terdistorsi atau terkooptasi oleh kepentingan destruktif kelompok hegemonik, sehingga kekuasaan berjalan sesuai dengan koridornya? Pertanyaan ini menemukan jawaban dalam pandangan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menegaskan sejatinya “sebuah kekuasaan harus dikontrol dan diawasi oleh kekuasaan lainnya (power must not go uncheckhed)”.
Kontrol terhadap kekuasaan dibutuhkan dalam semesta demokrasi. Dengan kontrol, kekuasaan tidak akan bertindak semena-mena mengikuti selera penguasa. Tindakan semena-mena hanya menjadi wabah bagi demokrasi yang pada akhirnya mendatangkan mala petaka akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sejarah kita belajar bagaimana arogansi kekuasaan Adolf Hitler, Mussolini dan Stalin membawa dampak destruktif kepada rakyat dan negaranya.
Itulah mengapa kontrol terhadap kekuasaan harus dilakukan dan tidak perlu lagi dipertanyakan, apalagi harus diperdebatkan! Untuk Indonesia, kontrol terhadap kekuasaan tampak menyisakan persoalan. Lemahnya kekuatan oposisi intra parlementer turut berimplikasi terhadap lahirnya sejumlah kebijakan kontroversial: dari UU ITE, Perppu Ormas, UU KPK hingga Omnibus Law Cipta Kerja.
Dari kebijakan tersebut tampak jelas bagaimana kekuasaan difungsikan dan diperdayagunakan dengan bersikap acuh pada aspirasi publik. Jangankan aspirasi masyarakat yang berada diluar kekuasaan Trias Politika, partai oposisi di parlemen saja ketika menyampaikan pandangannya justru berakhir dengan insiden mikrofon dimatikan. Apakah cara semacam ini senafas dengan kekuasaan dalam sistem demokrasi yang sejatinya inklusif terhadap kontrol dan pengawasan? Tentu saja tidak!
Membangun Keterhubungan Sosial
Lord Action pernah mengatakan power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Adagium ini menjelaskan tendensi kekuasaan terhadap perilaku menyimpang seperti korupsi. Kontrol terhadap kekuasaan, dengan demikian, bukan ditujukan untuk mengamputasi maupun menghambat jalannya kekuasaan. Justru kontrol kekuasaan adalah mencegah agar kekuasaan tidak menyimpang. Inilah substansi yang mesti dipahami. Alih-alih mencurigai fungsi kontrol dengan mempertebal sentimen.
Dalam alam demokrasi pemimpin tidak bisa bertindak layaknya seorang majikan. Demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sehingga siapa pun pemimpin di negara demokrasi, tidak terkecuali Indonesia, dituntut untuk bisa memosisikan dirinya sebagai partner bagi masyarakatnya: alih-alih memimpin hanya karena kekuasaan struktural. Kendati demikian pandangan ideasional semacam ini seringkali tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Kondisi konkret Indonesia hari ini setidaknya mencerminkan lemahnya kontrol – untuk tidak mengatakan absen – terhadap kekuasaan. Kuatnya dominasi partai koalisi pemerintah membuat lembaga legislatif tidak ubahnya seperti tukang stempel. Lembaga legislatif seakan hanya bisa mengafirmasi dan menjustifikasi setiap tindak-tanduk dari pemerintah (eksekutif), tanpa harus mempertanyakan, apalagi sampai menolak!
Pengamat politik menyebutkan kondisi lembaga legislatif sekarang ini merupakan konsekuensi logis dari sistem multi partai ekstrem. Dalam derajat tertentu ini dapat dibenarkan. Namun bila mencermati regulasi yang mengatur tentang fungsi lembaga legislatif, bukankah telah diatur di sana secara jelas akan kewenangan lembaga. Sekali lagi ini bukanlah konsekuensi multi partai, melainkan lebih kepada pragmatisme kekuasaan. Lantas bagaimana dengan partai oposisi?
Kehadiran oposisi intra-parlementer jelas insignifikan seperti tercermin dalam kasus omnibus law. Lemahnya kekuatan oposisi merupakan fakta politik yang tidak dapat dibantah. Apalagi dalam sistem demokrasi, yang melegitimasi one man one vote, aspek kuantitas menjadi penting sebagai penentu bagi agenda kontrol terhadap kekuasaan. Sehingga yang diperlukan sekarang ini adalah membangun keterhubungan sosial dengan kekuatan ekstra-parlementer.
Membangun keterhubungan sosial antara elemen oposisi intra dan ekstra parlementer ditujukan untuk mengefektifkan dan memaksimalkan agenda kontrol. Bagaimana pun juga kekuasaan itu tidak hanya ditentukan oleh mereka yang berada dalam kekuasaan semata. Namun yang berada diluar juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya. Max Lane dalam buku Unfinished Nation tegas mengatakan tumbuh tumbangnya kekuasaan dalam sejarah Indonesia merdeka tidak pernah terlepas dari faktor gerakan massa sebagai penentu.
Membangun keterhubungan sosial dalam konteks ini mesti diartikan ke dalam kerangka yang konstruktif, bukan destruktif. Singkatnya, keterhubungan sosial ditujukan semata-mata untuk memastikan kekuasaan berjalan sesuai dengan koridornya, dapat bertindak objektif dan tidak terkooptasi oleh kepentingan destruktif penguasa, sehingga redistribusi sumber daya negara untuk kesejahteraan yang berkeadilan bisa dicapai tanpa ada yang dirugikan.
Sejarah tentang arogansi kekuasaan semestinya menjadi catatan kita dalam membangun suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur dan aman sentosa. Bahwasanya kekuasaan yang tidak dikontrol sangat membahayakan rakyat dan negara!