Oleh: Julian Soediro
Asisten Peneliti di Amanat Institute
Jika kita terus mendengar narasi semangat akan harapan Indonesia yang maju di tahun 2045, berarti kita sedang berada pada ruang gema seputar ambisi politik nasional kita sendiri. Tercapainya bonus demografi dan jargon Indonesia Emas 2045 akan terus menghiasi media, setidaknya untuk beberapa tahun hingga masa Demographic Dividend berakhir di tahun 2040.
Sebenarnya apa yang menjadi harapan pada saat 2045 tidaklah semudah seperti memperjuangkan jargon politik dengan berbagai kampanye, namun dibutuhkan upaya jangka panjang baik dari infrastruktur dan suprastruktur politik. Melihat hasil sensus penduduk nasional 2020, jumlah penduduk usia produktif Indonesia adalah 191 juta orang atau sekitar 70,72% total penduduk nasional.
Memang, pemerintah telah dan tengah memberikan berbagai program peningkatan kompetensi bagi SDM dalam negeri, harapannya adalah agar bangsa ini bisa semakin kompetitif dalam persaingan global. Ambisi pemerintah tidak hanya tertuang dalam berbagai program yang terfragmen, namun juga melalui ambisi besar untuk membuat Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
Berbagai upaya pemerintah melalui kebijakan dan programnnya patut kita apresiasi. Namun, di balik berbagai optimisme dan harapan besar pada tahun 2045 atau seratus tahun Indonesia merdeka, tentu terdapat berbagai tantangan yang menyelimutinya. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus mencapai angka 7% pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya untuk mencapai target pendapatan per kapita US$28.000 di tahun 2045.
Pandemi Covid-19 seakan menjadi beban ganda yang harus dipikul pemerintah. Angka pendapatan per kapita Indonesia di tahun 2020 berada pada angka US$3.911, angka yang masih berada 7 kali lipat di bawah target pada tahun 2045. Hal tersebut semakin diperparah dengan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 2,07% di tahun 2020.
Jika sudah seperti ini kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, kita akan bekerja keras untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sehingga mencapai target untuk tahun 2045 atau bahkan lebih tinggi. Kemudian pilihan kedua, kita akan mengikuti arus perekonomian global dan menurunkan standar kita untuk tahun 2045.
Hingga saat ini, setidaknya publik bisa menilai secara jernih bahwa pemerintah tengah berupaya keras untuk on the track mencapai target di tahun 2045. Pemerintah sadar dengan situasi yang ada dan akan menggelontorkan Rp699,43 triliun untuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Setidaknya berbagai data, fakta, dan fenomena yang telah dijabarkan merupakan situasi terkini yang sedang dihadapi oleh seluruh komponen bangsa, khususnya pemerintah.
Nyatanya, kerja keras yang saat ini tengah dilakukan pemerintah bukanlah akhir dari perjuangan mewujudkan Indonesia Emas 2045. Justru, beban terberat ada di generasi muda yang saat ini menjadi objek dari kebijakan pemerintah dan kemudian menjadi subjek dari kebijakan untuk beberapa tahun mendatang.
Milenial dan Gen Z, Generasi Penuh Beban
Saat ini komposisi penduduk Generasi Z dan Milenial berada pada angka 145,39 juta jiwa atau secara persentase berada di angka 53.81% penduduk nasional. Kelak mereka, termasuk saya sebagai penghuni kluster penduduk tersebut akan bertransformasi menjadi perumus kebijakan untuk negara ini.
Walaupun secara kualitas memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari generasi sebelumnya, namun tantangan yang dihadapi akan lebih berat dibanding generasi pendahulu. Masih berada pada kluster ekonomi, generasi muda akan dihadapkan dengan beban negara berupa utang.
Berbagai pembangunan dengan dana fantastis yang dilakukan pemerintah tentu membutuhkan biaya yang banyak, salah satunya dengan menempuh mekanisme utang. Hingga April 2021 utang negara sudah mencapai Rp6.527 triliun atau secara rasio berada di angka 41,18% dari PDB. Angka tersebut bisa dikatakan cukup rawan dan mendekati batas maksimum yang telah ditentukan.
Secara regulasi, tertulis dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa maksimum rasio utang negara adalah 60% dari PDB. Rasio utang terhadap PDB meningkat secara gradual, setidaknya terlihat di akhir masa pemerintahan SBY yang berada pada angka 34,68% dari PDB meningkat menjadi 41,18% dari PDB untuk saat ini.
Tidak hanya terbebani untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, generasi muda akan dihadapkan dengan masalah utang negara. Pembangunan tidak akan berjalan tanpa dana, dan sumber dana paling realistis adalah melalui utang. Memutus rantai utang dan menghentikan pertumbuhan ekonomi, atau melanjutkan utang dan dilimpahkan pada generasi berikutnya? Mungkin merupakan pertanyaan yang sesuai dengan apa yang akan dihadapi oleh generasi muda.
Tidak hanya political will dan basis pengetahuan, segenap komponen bangsa harus bisa memecahkan paradoks utang dan pembangunan tersebut. Jangan sampai dalam 100 tahun kemerdekaannya justru Indonesia menanggung akumulasi permasalahan yang terus berlanjut dan dilimpahkan generasi berikutnya hingga menjadi siklus.