Oleh: Wahyu Ari Wicaksono
Hari raya lebaran Idul Fitri 1442 Hijriyah kembali menyapa kita secara berbeda dibandingkan lebaran-lebaran sebelumnya. Pasalnya lebaran kali ini harus kembali kita jalani di tengah ancaman pandemi Covid-19 yang masih saja terus menggelayuti.
Tapi kenapa bisa kita anggap berbeda? Bukankah Idul Fitri kali ini merupakan lebaran kedua di tengah pandemi Covid-19 seperti halnya yang kita alami pada Idul Fitri 1441 Hijriyah tahun kemarin?
Memang serupa, tetapi jika kita amati secara jeli, maka nyata-nyata tak sama. Meskipun sama-sama dirayakan di tengah pandemi Covid-19, kedua hari istimewa ini ternyata memang terasa berbeda. Jika pada Idul Fitri 1441 H kemarin, penanganan terhadap wabah corona yang menimpa masih dalam tahap awal, dimana masih penuh dengan kebingungan, ketidaktahuan dan ketakutan yang begitu mencekam di seluruh kalangan masyarakat, maka lebaran Idul Fitri 1442 H kali ini, kita rayakan justru ketika sebenarnya harapan untuk penanganan pandemi Covid-19 sudah mulai memunculkan titik terang yang menggembirakan.
Harapan yang mulai bersemi dengan mulai berjalannya proses vaksinasi, ditambah semakin tingginya kejenuhan masyarakat terhadap pembatasan-pembatasan dan penerapan protokol kesehatan yang harus dijalani selama lebih dari setahun pandemi inilah yang menyebabkan Idul Fitri 1442 ini cenderung dianggap berbeda.
Meski masih percaya bahwa Covid-19 belum habis, tapi masyarakat mulai berani beraktivitas, bahkan berinteraksi meskipun secara terbatas. Toko-toko, mal, tempat wisata, warung-warung, kantor, dan berbagai fasilitas publik lainnya mulai dibuka dan beroperasi meski harus menerapkan protokol kesehatan ketat dan standar operasi sesuai aturan new normal.
Meski sadar bahwa ancaman Covid-19 masih membayangi, namun rasa takut yang berlebihan mulai menghilang, dan lambat laun merasa bisa menjalankan aktivitas normal meskipun dengan prokes ketat dan gaya hidup new normal.
Apalagi sarana pendukung kebutuhan hidup yang porak poranda akibat hantaman pandemi ditambah faktor lemahnya perekonomian bangsa membuat masyarakat mau tak mau harus mulai kembali bekerja dan berusaha agar periuk nasinya kembali terisi.
Alhasil hampir semua masyarakat khususnya sektor swasta mulai kembali menjalankan aktivitas produktif mereka kecuali lembaga pemerintahan, sekolah dan perusahaan negara yang terikat erat dengan aturan pemerintah untuk tetap menjalankan work from home selama waktu yang belum dipastikan.
Sengatan Larangan Mudik
Praktis meskipun harus menjalani gaya hidup new normal dan prokes yang ketat, aktivitas kehidupan masyarakat boleh dibilang mulai berjalan normal dan wajar. Aktivitas keseharian dan religiusitas masyarakat di bulan Ramadhan 1442 H kemarin juga mulai berjalan normal dengan berbagai penyesuaian yang memungkinkan.
Sampai akhirnya, pada pertengahan bulan Ramadan (26/3/21), terbit sebuah keputusan kontroversial yang ditetapkan pemerintah, pemerintah memutuskan mudik Lebaran 2021 ditiadakan, yang mana hal itu berlaku mulai tanggal 6-17 Mei 2021.
Keputusan larangan mudik Lebaran 2021 merupakan hasil Rapat Tingkat Menteri hari ini 26 Maret 2021 yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokras, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Perhubungan, Panglima TNI, Kapolri, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Begitu diumumkan dalam konferensi pers dan diberitakan oleh media massa, sontak peraturan ini ramai dibicarakan oleh khalayak. Bukan karena larangan mudik yang secara tegas telah ditetapkan tersebut, melainkan karena kontradiksi antara aturan ini dengan berbagai aturan pemerintah lainnya.
Bagaimana masyarakat tidak tersengat oleh ditetapkannya aturan ini, sementara aturan dan himbauan lainnya yang sepertinya bertolak belakang juga dilontarkan pemerintah. Misalnya terkait pariwisata, selama masa tersebut, kegiatan pariwisata tetap diperbolehkan. Selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, tidak dilarangnya kegiatan wisata selama masa larangan mudik Lebaran yang bertujuan untuk menggerakkan perekonomian negara.
Tentunya aturan ini sangat membingungkan dan menjadi bahan nyinyiran masyarakat. Pasalnya potensi penyebaran virus Covid-19 karena aktivitas pariwisata tentunya tak kalah bahayanya dengan aktivitas mudik.
Ada juga himbauan kontradiksi lainnya. Di tengah larangan mudik yang ditetapkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbau masyarakat agar berbelanja baju baru dan bingkisan Lebaran untuk menggerakkan ekonomi.
“Ada bagusnya Lebaran kita tetap menggunakan baju baru sehingga muncul aktivitas ekonomi. Kami harapkan masyarakat tetap menyambut Lebaran dengan gembira, tetapi menjaga agar penularan Covid-19 tidak terjadi,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi April 2021, Kamis (22/4).
Alhasil nyinyiran khalayak terhadap himbauan ini segera memenuhi sosial media yang ada. Mudik dilarang, aktivitas lebaran dibatasi tetapi masyarakat dihimbau untuk belanja lebih banyak.
Aturan-aturan yang membingungkan masyarakat tersebut selalu saja bermunculan sehingga menambah linglung berbagai pihak yang berkepentingan. Misalnya kasus aturan boleh tidaknya masyarakat melakukan mudik lokal. Mudik lokal ini sempat diperbolehkan dan setelah jadi polemik akhirnya dilarang juga dengan aturan yang cukup rumit untuk membedakan antara komuter yang bekerja lintas daerah, wisatawan atau pemudik lokal.
Puncak Kegagapan
Aturan-aturan yang saling bersinggungan bahkan terkesan bertentangan tersebut membuat masyarakat menganggap pemerintah tidak kompak dan kurang memahami permasalahan. Akibatnya meskipun masyarakat sebetulnya bisa memahami alasan munculnya peraturan tersebut namun karena ketidakkompakan pemerintah menjadikan mereka enggan menerima aturan tersebut dengan patuh. Pelanggaran-pelanggaran pun jadi marak terjadi dan kembali membuat kalang kabut pemerintah sendiri.
Drama puncak kegagapan pemerintah dalam menghadapi permasalahan pandemi yang tak kunjung tertangani ini akhirnya justru dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri.
Seolah melengkapi kegagapan para menterinya, mendadak Presiden Jokowi membuat kesalahan sepele yang menelanjangi ketidakkompakan para pembantu dan pendukungnya.
Dalam pidatonya terkait larangan mudik yang ditetapkan pemerintah sehingga masyarakat tidak bisa kemana-mana, Presiden Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk memesan oleh-oleh makanan via online. Nah dalam pidato kali ini, Jokowi menyebut Bipang Ambawang dari Kalimantan yang sontak membuat masyarakat heboh.
Pasalnya Bipang Ambawang yang disebutkan Jokowi tersebut merupakan kuliner babi panggang yang notabene dianggap haram bagi masyarakat muslim. Sungguh jika konteks pidato Presiden tersebut terkait dengan perayaan lebaran tanpa bisa kemana-mana, maka pesan kuliner Bipang Ambawang merupakan kekonyolan atau malah bisa dianggap pelecehan.
Lucunya, menanggapi pidato yang dianggap salah tersebut, juru bicara Presiden Fadjroel Rachman segera mengklarifikasi bahwa Bipang yang dimaksud presiden bukanlah babi panggang tersebut melainkan makanan khas yang terbuat dari beras, talipur dan jagung.
Bukannya meredam polemik di masyarakat, penjelasan Fadjroel tersebut justru memicu polemik lebih dalam pasalnya apa yang disebut Jokowi sangat jelas dan gamblang berbeda dengan apa yang dipaparkan Fadjroel.
Lagi-lagi potret ketidakkompakan para pembantu presiden ini semakin terbuka ketika Jubir Presiden lainnya Ali Mochtar Ngabalin menyebutkan bahwa tak ada salah ketik, salah baca maupun salah konsep pada pidato yang dilakukan Presiden Jokowi di atas.
Seperti mengolok-olok Fadjroel, Ngabalin menyatakan bahwa apa yang diucapkan Jokowi ya benar Bipang Ambawang yang dihebohkan masyarakat tersebut. Berbeda dengan Fadjroel, Ngabalin mengklarifikasi bahwa Bipang yang disebut Jokowi bukanlah ditujukan untuk kaum muslim.
Selain para Jubir yang kalang kabut menjelaskan maksud dari pidato Jokowi di atas, selanjutnya muncul para Menteri dan tokoh-tokoh pendukung Jokowi yang menjelaskan makna pidato Jokowi tersebut dengan pembelaan versi mereka sendiri yang beragam dan berbeda-beda. Bahkan ramai juga para buzzer yang membuat polemik mengenai Bipang Ambawang ini semakin ruwet dan berisik.
Pemimpin Sejati
Carut marut heboh masalah Bipang Ambawang telah menunjukkan bagaimana sebuah permasalahan sepele akan menjadi rumit dan pelik jika Sang Pemimpin sejati tidak berani mengambil resiko, jujur dan mengakui sebuah kesalahan besar maupun kecil yang terjadi.
Polemik Bipang Ambawang di atas tentunya tidak akan meruncing dan malah mempermalukan pemerintah jika Presiden langsung mengklarifikasinya sendiri daripada membiarkan para pembantunya mengambil peran dengan improvisasi mereka masing-masing yang terkadang justru memperkeruh permasalahan.
Akan sangat menghemat energi semua pejabat, semua tokoh dan semua masyarakat, jika Presiden langsung secara berani menjelaskan kesalahan kecil yang dia lakukan dan mengklarifikasi maksud sebenarnya dari pidato yang diomongkannya.
Karena itulah hadirnya seorang pemimpin sejati menjadi kunci kemajuan sebuah negara. Dan sebaliknya pemimpin yang salah akan membawa kehancuran sebuah negara juga.
Dengan kehadiran seorang pemimpin sejati yang berani, jujur, cerdas, tegas, peduli dan bertanggung jawab, niscaya bangsa Indonesia akan mampu menjadi bangsa yang terpandang di dunia.
Pemimpin yang lugas dalam arti sebenarnya, tidak berpikir muluk-muluk yang ujung-ujungnya tidak menghasilkan sesuatu yang berguna melainkan hanya pencitraan semata. Bukan pemimpin yang nampak merakyat tapi hanya membangun mercusuar untuk citra positif dan ambisi kemasyhuran golongannya semata.
Semoga saja kita bisa mendapatkan pemimpin sejati tersebut pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Pemimpin yang tidak perlu nampak terlalu sok merakyat, sok lugu, sok polos dan sok apa adanya. Tak perlu terlalu berlebihan. Cukup pemimpin yang mampu menjadikan dunia yang sedikit lebih adil & sedikit lebih damai bagi semua makhluk yang ada.
Persis seperti kata Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), “Dunia yang sedikit lebih adil & sedikit lebih damai bisa kita wujudkan. A better word is possible.”
Jika 2024 nanti Indonesia berhasil menemukan pemimpin yang bisa mewujudkan apa yang diungkapkan SBY di atas, maka kita tak lagi perlu terjebak merayakan lebaran di rumah saja, sambil memesan Bipang Ambawang yang notabene haram bagi umat muslim yang tengah merayakan lebaran ini. Tabik.