Oleh : Nezla Na’imatul Sholihah
Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi Pancasila. Pancasila dibentuk dengan dasar nilai–nilai yang terkandung pada diri bangsa Indonesia. Oleh sebab itulah, sudah sepantasnya seluruh lapisan warga negara Indonesia memahami dan menerapkan nilai – nilai yang terkandung pada Pancasila dalam kehidupan sehari–hari. Namun, nyatanya hal tersebut masih sulit terlaksana. Masih banyak oknum–oknum yang tidak bertanggung jawab, enggan menerapkan nilai–nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila untuk kehidupannya. Banyak sekali perilaku menyimpang yang sering ditemukan. Pelakunya tidak memandang usia, jenis kelamin, jabatan, golongan, ras, dan sebagainya. Mereka dengan latar belakang yang beragam secara tidak bertanggung jawab melakukan tindakan–tindakan yang tidak sesuai, dan bahkan bertolak belakang dengan nilai–nilai luhur bangsa Indonesia. Perilaku menyimpang tersebut sangat beragam, antara lain mencuri, berbohong, mencelakai orang lain, menfitnah, dan masih banyak tindakan lainnya. Perilaku tersebut jika digabungkan, secara umum dapat kita sebut sebagai perbuatan munkar.
Kemungkaran atau perbuatan munkar adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ (ajaran Islam) dan dianggap jelek oleh akal sehat, menurut pendapat Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam kitab Tafsirnya (1997:220). Sedangkan menurut Al-Maraghi (2006:170), munkar adalah perbuatan yang diingkari oleh akal seperti rasa marah yang kuat, memukul, membunuh, dan bersikap congkak di hadapan orang lain. Perbuatan ini sudah barang tentu semuanya ditolak oleh akal sehat dan tidak dibenarkan oleh agama. (Rohman, 2021).
Dari pendapat tersebut sudah dipastikan bahwa perilaku munkar merupakan perilaku yang buruk. Oleh karena buruk, sudah sepantasnya harus dihindari. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa orang lain akan berbuat munkar kepada kita. Lalu, apakah kita harus membalas perbuatan tersebut? Apakah kita diperbolehkan berbuat mungkar juga setelah mendapat
perlakuan buruk dari orang lain? Jawabannya tidak. Membalas dengan perbuatan yang sama buruknya, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah.
“Dalam melawan kemungkaran, janganlah digunakan cara–cara yang sama mungkarnya”, pesan yang disampaikan oleh presiden ke – 6 RI, Bapak Susilo bambang Yudhoyono. Saya setuju dengan apa yang disampaikan beliau, bahwa kemungkaran tidaklah seharusnya dibalas dengan hal-hal yang sama mungkarnya. Karena hal tersebut akan memperpanjang masalah dan tidak akan mencapai titik temu yang berujung baik untuk kedua belah pihak. Jika kemungkaran dibalas dengan kemungkaran, ibarat api bertemu dengan api, hasilnya sama-sama api yang lebih besar. Maka dari itu, jika mendapat kemungkaran alangkah baiknya kita menjadi air. Air yang mampu memadamkan api, air yang mampu menyejukkan, mendinginkan, sehingga api yang besar tidak akan dihasilkan, justru api yang semula ada akhirnya lenyap. Oleh sebab itu, dibutuhkan jiwa kesatria. Jiwa kesatria yang berbesar hati mau untuk mengalah. Mengalah bukan berarti kalah, justru dengan mengalah, dapat menunjukkan kebesaran hati seseorang dan mencerminkan sikap seorang kesatria yang sesungguhnya.
Sudah sepantasnya sebagai manusia harus memiliki jiwa-jiwa yang besar. Justru dengan memaafkan perilaku buruk tersebut, akan menjadikan kita pribadi yang berhati besar. Sehingga tumbuhlah jiwa-jiwa tulus yang kelak pantas disebut sebagai insan yang berbudi mulia. Dengan memaafkan, kita dilatih untuk ikhlas, yang lantas akan menyadarkan lawan dengan sebuah penyesalan. Sehingga hal buruk serupa tidak akan mereka lakukan kepada orang lain. Yang kemudian akan melahirkan perdamaian. Bukankah kita hidup di dunia dengan tujuan untuk menciptakan sebuah perdamaian? Dengan mengalah, tanpa membalas perilaku yang sama mungkarnya, akan memberikan contoh pada lawan dan lingkungan sekitar, bahwa hal mungkar tidaklah pantas dilakukan meskipun kita mendapat hal tersebut lebih dahulu. Karena perilaku mungkar, apapun itu bentuknya tetap saja bersifat keji. Oleh karena itu jangan biarkan kita masuk dalam golongan orang-orang perusak yang keji.
Perilaku mungkar yang kita dapat, selayaknya memang harus kita balas. Namun, dengan balasan yang bersifat baik. Dengan menghormati, bersikap rendah hati, berbicara dengan nada lembut, kita bantu saat mereka membutuhkan bantuan, bahkan menjadikan mereka yang semula adalah lawan menjadi kawan, itulah yang seharusnya kita lakukan. Mungkin jika dilakukan akan sangat berat. Namun perlu diingat, yang membuat kita merasa berat dengan hal tersebut karena kita masih menjadikan ego sebagai raja dalam diri kita. Dengan menjadikan ego sebagai raja dalam diri kita, justru akan membunuh kita secara perlahan. Kita hidup bukan dengan tujuan untuk menuruti ego saja. Kita harus mampu menghubungkan dan mensinkronkan antara ego dan pikiran. Dengan seperti itu akan membuat kita mampu mengendalikan dan mengontrol diri dalam menghadapi berbagai situasi.
Daftar Pustaka
Rohman, D. A. (2021). Meninggalkan Perbuatan Munkar. 1–6. https://www.republika.co.id/berita/od9lay396/meninggalkan-perbuatan-munkar