Oleh: Viska Restivani
“Dunia terasa tidak sedap jika ada sekitar 80 juta manusia (1% penduduk dunia) yang sangat kaya, bahkan kaya raya, sementara masih ada 800 juta penghuni dunia yang untuk makan pun susah”
-Susilo Bambang Yudhoyono-
Mengerucutkan suatu lingkup keadaan pada quotes di atas adalah mengamati masalah yang cakupannya terjadi di Indonesia. Pada dasarnya pangkal masalah sosial di Indonesia terjadi karena faktor ekonomi. Kemiskinan yang merajalela dikarenakan beberapa faktor kerap kali masyarakat menyalahkan kinerja pemerintahan yang menurut mereka tidak menggerakkan program-program yang bersifat penyelamatan. Padahal, faktor individu, psikologis, dan keluarga juga dapat menjadi faktor terjadinya kemiskinan. Maraknya konflik sosial pun menyebabkan bencana sosial yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan harta benda, tapi juga bisa menjadi awal kemiskinan yang baru.
Jika kita menelaah pepatah lama yang mengatakan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”, menurut pengamatan saya hal itu memang terjadi di era pandemi ini. Tahun 2021 adalah tahun ke-2 pandemi COVID-19 yang masih belum berkesudahan. Apa yang menjadi petunjuk bahwa pepatah lama itu benar-benar terjadi? Kemiskinan adalah keadaan yang terjadi pada masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan. Hal ini merupakan masalah global yang harus ditangani sebelum akhirnya menjadi lubang kemiskinan yang semakin besar.
Pada era pandemi ini, pergerakan ekonomi negara diguncang perputarannya. Pergolakan ekonomi dan politik semakin memanas karena adanya suatu kebijakan pemerintah dalam upaya penanganan pandemi yang secara langsung mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Adanya kebijakan lockdown menjadi konflik sosial yang menyebabkan perusahaan-perusahaan mau tidak mau harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan-karyawan mereka, dengan alasan pandemi, para pelaku usaha mengurangi pegawainya agar perputaran omset perusahaan tetap stabil. Hal tersebut mengakibatkan ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin yang semakin jauh.
Lalu bagaimana dengan si kaya yang makin kaya? Tentunya dalam era pandemi ini faktor yang mendorong kekayaan para pelaku bisnis adalah dari penurunan harga saham. Para pelaku bisnis saling berlomba membeli saham yang nilainya sedang turun, merupakan suatu keuntungan besar karena pada proses pemulihannya, nilai saham akan kembali normal bahkan jauh dari nilai penurunannya. Maka dari itu pemerintah harus menciptakan strategi pemberantasan kemiskinan secara signifikan. Pemerataan sumber daya manusia harus menjadi tolak ukur utama dalam pemberantasan isu sosial ini. Analisis yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer
mengenai penanganan isu kemiskinan sangat penting demi menanggulangi persoalan yang sangat kompleks dan kronis ini.
Pada akhirnya, pemerataan distribusi pendapatan pada semua golongan masyarakat adalah sangat penting agar tidak terjadi trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pangkal isu sosial ini perlu mendapat perhatian dan tindakan yang bersifat konkrit melalui program-program baik yang bersifat penyelamatan, pemberdayaan maupun fasilitatif apalagi di era pandemi ini. Yang dapat dicontohkan dengan membuka pelatihan-pelatihan khusus bagi masyarakat yang tidak mampu untuk sekolah dan masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan disediakan lapangan pekerjaan yang nantinya dijadikan tumpuan setelah program pelatihan selesai. Meskipun sudah ada beberapa program yang menjurus ke arah sana, pendistribusian yang merata sangat diperlukan dengan analisis kebutuhan sumber daya manusia. Selain itu, faktor individu dan psikologis yang menjadi faktor kemiskinan karena sebuah pilihan untuk tidak mau berkembang dan tetap berkecamuk pada zona nyamannya, harus mendapatkan penanganan yang tepat. Masalah ini memang bukan hanya menjadi permasalahan internal suatu negara, bahkan sudah menjadi permasalahan bagi dunia internasional.