Oleh: Amir Tjolleng
Saat ini dunia tengah berada di era digital. Era yang ditandai dengan maraknya penggunaan teknologi digital ini berkembang begitu pesat. Aktivitas masyarakat mulai bergantung pada teknologi. Fenomena ini memicu terjadinya perubahan yang memengaruhi beragam sendi kehidupan masyarakat. Arus perubahan tersebut tak terelakkan lagi dan sangat mudah dijumpai di sekitar kita. Situasi pun kian kompleks saat tantangan muncul seiring hadirnya perubahan. Berpikir dan bekerja dengan cara-cara lama mesti diubah dengan cara-cara baru. Akibatnya, di zaman ini semuanya dituntut serba cepat. Yang lambat dan gagal merespons perubahan, dipastikan akan tertinggal dan kalah.
Era perubahan fundamental yang terjadi di tengah masifnya penggunaan teknologi ini lebih dikenal dengan era disrupsi. Berbagai inovasi dan perubahan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, kini hadir dan mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Dampak dari dinamika disrupsi ini menyerang hampir semua sektor, mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya. Dalam bidang ekonomi, industri manufaktur termasuk salah satu industri yang cukup merasakan imbas disrupsi digital. Perubahan di bidang industri ini sangat familiar dengan istilah revolusi industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 merujuk pada transformasi yang dicirikan dengan penerapan sistem otomatisasi dan pertukaran data siber-fisik dalam teknologi pabrik (cyber physical systems), penggunaan internet untuk segala atau Internet of Things (IoT), komputasi awan (cloud computing), hingga pengadopsian kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam mengoperasikan dan mengendalikan produksi. Dengan adanya sistem siber-fisik terintegrasi dan lain sebagainya, industri manufaktur dapat dengan mudah memantau persediaan bahan baku dan output produk, memonitor kondisi mesin, hingga menyelesaikan berbagai masalah terkait proses produksi dengan lebih efektif dan efisien. Hasil studi McKinsey bertajuk “Industry 4.0 Reinvigorating ASEAN Manufacturing for The Future” menyatakan bahwa industri manufaktur di wilayah ASEAN berpotensi memperoleh keuntungan hingga USD 600 miliar apabila menerapkan teknologi industri 4.0 dalam ekosistem produksi.
Perusahaan berbasis manufaktur tentu ingin melesat maju dan tidak mau hanya menjadi penonton saja. Oleh sebab itu, perubahan yang begitu cepat perlu direspons dengan strategi dan langkah konkret. Lantas, bagaimana cara menyikapi perubahan ini? Ada satu quote dari Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang relevan untuk dijadikan pedoman dalam menghadapi kondisi disrupsi ini. Beliau mengatakan, “Yang survive, grow, and win adalah mereka yang tahu dunianya tengah dan telah berubah, kemudian ikut melakukan perubahan. Yang menjadi the winners adalah mereka yang adaptif, inovatif, dan open minded”.
Ya, untuk dapat bertahan, bertumbuh, dan menjadi pemenang dalam menghadapi tantangan saat ini, hal pertama yang perlu disadari adalah bahwa dunia tengah dan telah berubah. Untuk itu, pemimpin perusahaan perlu terus memantau perubahan yang terjadi dan memprediksi tren apa yang akan terjadi kelak. Tak hanya sampai di situ saja, aksi selanjutnya adalah turut serta terlibat dengan proses di dalamnya. Tantangan yang akan dihadapi tentu tidaklah mudah. Ada banyak cara, konsep, sistem, bahkan paradigma baru yang akan muncul. Sehingga, dibutuhkan usaha keras untuk mengubah tatanan konvensional yang telah lama mengakar.
Selain itu, kunci untuk memenangkan era saat ini adalah perlunya kemampuan yang adaptif, inovatif, dan berpikiran terbuka. Pemimpin bisnis dituntut berpikiran terbuka dan siap beradaptasi dalam menyambut setiap perubahan yang terjadi di tengah ketidakpastian global. Bisa saja muncul berbagai peluang bisnis atau pasar baru di masa mendatang. Oleh karena itu, sistem produksi, strategi manajemen, hingga model bisnis perlu digarap dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi digital 4.0. Perusahaan perlu mengidentifikasi lini produksi mana yang sekiranya dapat dimanfaatkan dengan teknologi terbarukan tersebut. Dengan digitalisasi manufaktur yang tepat, diharapkan efisiensi produksi dapat tercapai dan perusahaan mampu memenangkan persaingan di tengah lanskap pasar yang kompetitif.
Hal yang tak kalah penting dan sangat diperlukan adalah kemampuan berinovasi. Kondisi dinamis saat ini turut menggeser selera pasar, sehingga inovasi mutlak perlu terus dilakukan. Pelaku bisnis harus mampu melahirkan terobosan baru. Proses produksi yang kaku perlu dikonversi menjadi lebih fleksibel. Cara kerja lama perlu dirombak dengan cara kerja baru. Sudah banyak perusahaan besar yang harus kalah dan tergerus oleh perubahan akibat enggan dan lambat berinovasi serta bertahan dengan pola kerja lama.
Era disrupsi yang terjadi tentu tak bisa dihindari. Hanya ada dua pilihan, kalah atau menang. Bagi industri manufaktur, revitalisasi industri dengan respons yang adaptif dan inovatif dapat menjadi jawaban dalam menghadapi tantangan ini. Oleh karena itu, penguatan sumber daya manusia dengan sekumpulan keahlian yang mumpuni utamanya di bidang teknologi dirasa perlu untuk ditingkatkan. Sulit rasanya maju jika gagap teknologi, apalagi ditambah dengan mindset lama yang masih terus dipegang teguh.