Oleh: Mira Permatasari, M. Si (Han), Direktur The Yudhoyono Institute
Pada 10 Juni 2022 yang lalu, atas undangan sahabat saya Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, saya hadir dalam peringatan persahabatan dan hubungan diplomatik Indonesia dan Ukraina. Peringatan hubungan diplomatik antara kedua negara ini seyogyanya dirayakan pada setiap tanggal 11 Juni sejak tahun 1992. Pada acara peringatan tersebut, saya mendengarkan dengan seksama pidato Dubes Vasyl tentang betapa pentingnya hubungan kedua negara, meski di tengah ketidakpastian yang tengah dilanda bangsa Ukraina. Rasa haru meliputi perasaan seluruh undangan yang hadir, khususnya warga Indonesia, di mana Dubes Vasyl membacakan pidatonya berlembar-lembar dengan Bahasa Indonesia di hari penting dan bersejarah bagi hubungan kedua negara ini. Sebagai warga Indonesia, tentu gestur Dubes Vasyl patut untuk diapresiasi. Berkali-kali dalam pidatonya ia menekankan kata “family” yang ia rasakan tentang betapa tersentuhnya ia melihat banyak dari kami (warga Indonesia yang diundang) untuk menyuarakan kebenaran dari apa yang terjadi dalam krisis Ukraina-Rusia. Meski kita pun menyadari bahwa tidak banyak warga Indonesia yang terliterasi dengan baik duduk permasalahan yang sebenarnya terjadi antara Ukraina dan Rusia. Sentimen pro-Rusia marak terjadi, disinformasi media sosial dan ketidakpercayaan warga Indonesia akan media-media Barat masih menjadi tantangan tersendiri dalam memahami krisis Ukraina-Rusia secara berimbang. Untuk itu, tidak berlebihan rasanya saya menuangkan pemikiran ini untuk bisa sedikit berkontribusi pada hubungan diplomatik yang telah dibangun 30 tahun lamanya oleh bangsa Indonesia dan bangsa Ukraina.
Masih lekat dalam ingatan saya, jawaban Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky atas pertanyaan diplomat senior Dino Patti Djalal yang disampaikan langsung kepada masyarakat Indonesia melalui live streaming pada 27 Mei 2022 yang lalu. Ketika ditanya apa yang menjadi bottom line dari perjuangan bangsa Ukraina dalam menghadapi invasi dari Rusia, Presiden Zelensky menjawab bahwa bottom line-nya kurang lebih sama dengan bangsa Indonesia ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Bahwa Ukraina adalah sebuah negara berdaulat (sovereign state), dan rakyat Ukraina hanya ingin apa yang mereka miliki bisa kembali, dan bisa hidup di tanah airnya dengan damai. Jawaban itu hampir pasti disetujui oleh bangsa Indonesia, dan bangsa manapun di dunia ini. Tidak ada satu negara berdaulat yang mau negaranya direcoki, diintervensi dan diokupasi oleh negara lain. Bahwa negara-negara di dunia haruslah menghormati kedaulatan negara lainnya, dan hidup berdampingan secara damai.
Penghormatan atas kedaulatan negara tersebut sesungguhnya merupakan buah dari Perjanjian Westphalia di tahun 1648. Bagaimana secarik kertas dari Perjanjian Westphalia yang menghasilkan Westphalian Sovereignty (Kedaulatan Westphalia) berhasil menghentikan perang berdarah 30 tahun di wilayah Eropa. Inilah yang menjadi dasar pemikiran konsep sebuah negara-bangsa yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia. Kedaulatan negara-bangsa menjadi fundamental, hakiki dan asasi yang dimiliki bangsa yang berdaulat. Kedaulatan adalah buah dari pilihan sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa didikte oleh negara lain. Tidak terpikirkan sebelumnya, bahwa krisis yang dihadapi Ukraina saat ini bisa terjadi di tanah Eropa, di era modern, dan di abad ke-21 seperti sekarang. Kedaulatan negara-bangsa yang disepakati 374 tahun yang lalu di Eropa menjadi seolah tidak lagi dianggap. Padahal inilah yang mendasari konsep negara berdaulat dan tatanan hukum internasional yang mengatur dunia.
Kini sudah lebih dari 100 hari, Ukraina terlibat konflik terbuka dengan Rusia. Lebih dari 4000 korban jiwa berjatuhan, baik militer dan warga sipil Ukraina, ratusan diantaranya adalah anak-anak. Sedangkan ribuan lainnya luka-luka akibat terkena senjata artileri, reruntuhan bangunan dan misil. Dalam pantauan kantor berita Guardian saat ini diprediksikan sekitar 100-200 tentara Ukraina yang terbunuh per harinya akibat perang ini. Menurut UNHCR (9 Juni 2022), ada hampir sekitar 5 juta jiwa warga Ukraina yang mengungsi ke wilayah Eropa, dan kebanyakan diantara mereka dalam kondisi yang sangat rentan. Korban pun banyak berjatuhan di pihak Rusia. Fakta-fakta inilah yang menjadikan kondisi krisis Ukraina-Rusia berada pada titik kritis, yang jika terus dibiarkan akan berdampak pada kehancuran kedua negara, khususnya Ukraina. Ini merupakan kehilangan yang luar biasa dari kehidupan manusia. Pertanyaan sederhananya adalah sampai kapan perang ini akan berakhir, dan apa yang bisa dunia, serta Indonesia lakukan untuk menghentikan salah satu tragedi kemanusiaan di tahun 2022 ini?
Sebagai bangsa yang mencintai perdamaian dan memiliki histori perjuangan kemerdekaan atas penjajahan, Indonesia seharusnya memiliki kepedulian dan empati bagi bangsa-bangsa yang tengah mengalami ancaman atas kedaulatan negaranya. Tercantum dalam konstitusi Indonesia, bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia antara lain menjaga ketertiban dunia dan berkontribusi dalam perdamaian dunia. Itu adalah amanat konstitusi kita, yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini. Menjadi relevan rasanya jika Indonesia bisa terus berperan aktif dan menyuarakan nasib sahabatnya di belahan wilayah Eropa yang sedang berjuang atas kedaulatan bangsa dan integritas wilayahnya dari bangsa lain. Setidaknya, kepedulian itu ditunjukkan dengan mendudukkan permasalahan ini secara faktual dan disuarakan untuk memberikan literasi informasi yang sebesar-besarnya bagi publik Indonesia. Bahwa ini adalah permasalahan dasar tentang kedaulatan sebuah negara yang diganggu gugat oleh negara lainnya, dan apa yang terjadi di Ukraina telah melahirkan tragedi kemanusiaan di era modern yang tak terperikan. Kita harus mengingat bahwa apa yang terjadi dan menimpa bangsa Ukraina, bisa menjadi preseden bagi negara-bangsa lainnya tanpa terkecuali, termasuk Indonesia. Tentunya kita tidak ingin hal ini terjadi kembali pada negara manapun di dunia. Untuk itu, penting bagi Ukraina untuk menang, sehingga ini kemudian menjadi catatan penting bagi negara-negara lain yang berniat untuk menginvasi negara lainnya.
Satu hal lain yang penting untuk dicatat, dalam kesempatannya menyapa masyarakat Indonesia itu (27/5), Presiden Zelensky menyampaikan bahwa perlu diingat bahwa dalam konstitusi Ukraina, bahkan sejak merdekanya, Ukraina adalah negara yang tidak memiliki aliansi blok manapun (non-aligned status). Mungkin pernyataan ini adalah pernyataan yang pertama kali dijelaskan di hadapan publik internasional, dan tidak banyak diketahui sebelumnya. Status ini penting untuk diketahui dan dipahami oleh bangsa Indonesia, sebagai literasi bahwa Ukraina dan Indonesia adalah sama-sama negara yang berdaulat dan merdeka, yang tidak menganut paham blok manapun. Bahwa apa yang dilakukan oleh Ukraina saat ini adalah merupakan kepentingan untuk bertahan hidup (survival interest), antara hidup dan mati, antara hidup merdeka atau dijajah bangsa lain. Kesamaan nilai dan cara pandang inilah yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat Indonesia dalam memandang inti persoalan dari krisis yang terjadi di Ukraina.
Tahun 2022 ini, Indonesia didaulat menjadi Ketua dalam ajang klub elit bergengsi dunia G20. Meski berbasiskan pada kerja sama dan kolaborasi dalam bidang ekonomi, besar harapan agar ajang G20 nanti juga bisa menghasilkan pemikiran dan gagasan yang konkret pada upaya perdamaian bagi krisis Ukraina-Rusia. Hal itu bukanlah hal yang tidak mungkin. Merujuk pada pertemuan G20 di St. Petersburg pada tahun 2013 lalu, kepala-kepala negara dari 20 negara anggota G20 berhasil membahas isu Syiria, sesuatu yang awalnya dirasa tabu dan tidak mungkin dilakukan, namun akhirnya bisa dilakukan. Saat itu Presiden SBY berani menyuarakan pandangannya, meski saat itu harus berbeda pendapat dengan Presiden Obama yang duduk bersebelahan. Langkah aktif Indonesia yang telah dilakukan untuk berkontribusi pada perdamaian Ukraina-Rusia oleh Presiden Joko Widodo dan Menlu Retno Marsudi sudah baik dilakukan, namun masih bisa ditingkatkan. Besar harapan agar peran penting Keketuaan Indonesia pada KTT G20 bulan November nanti, Indonesia bisa berkontribusi aktif bagi persahabatan Indonesia dan Ukraina, pada asas kemanusiaan, serta ketertiban dan perdamaian di dunia. Tentunya hal ini akan menjadi catatan penting bagi 30 tahun persahabatan Indonesia dan Ukraina.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Selasa, 14 Juni 2022 – 15:45 WIB oleh Koran SINDO dengan judul “Catatan Penting 30 Tahun Persahabatan Indonesia-Ukraina”