Oleh: Inggar Saputra
Pertarungan dunia politik Indonesia belakangan ini seakan kehilangan substansial dan gagal memproduksi gagasan solutif untuk kemajuan bangsa. Alih-alih mengusung semboyan “Indonesia Maju” Republik ini kebanjiran sampah yang meminggirkan moralitas berpolitik. Sebagai seni, siasat dan cara untuk berkuasa, politik kehilangan makna dan identitasnya. Berganti “perang” media sosial yang meminggirkan etika, mengabaikan integritas, menepikan moralitas dan mempertontonkan identitas palsu sehingga gagal membangun keharmonisan berbagai elemen bangsa.
Paska dua kali pemilihan presiden, bangsa Indonesia sudah terpolarisasi dengan politik identitas dengan penghakiman benar-salah. Sekelompok orang terjebak istilah “cebong” dan “kadrun” hasil pertarungan pemilihan pemimpin nasional yang belum usai. Meski terus digalang semangat menghapus “penjajahan” dengan sebutan negatif tersebut. Realitasnya pendukung fanatik kedua kubu yang terfragmentasi secara nyata di media sosial sulit terhindarkan. Kita sebagai anggota masyarakat akhirnya dipertontonkan politik kata-kata yang menyebalkan.
Seolah belum mau berakhir, akhir-akhir muncul istilah “buzzer” politik sebagai alat pukul terhadap lawan politik. Mereka secara aktif melakukan konsolidasi untuk melemparkan kampanye negatif, propaganda hitam dan berita bohong (hoaks) yang merobek tenun kebangsaan. Setiap gerakan yang dibangun seseorang yang berseberangan dengan pilihan politiknya dianggap salah dan harus “dipatahkan” dengan kata-kata kasar dan nyinyir. Seakan mereka ingin mengklaim bahwa kepentingan kelompoknya paling benar, sementara orang lain salah.
Pemakaian buzzer politik di Indonesia yang mengaburkan prestasi dan kebaikan anak bangsa sejatinya musuh dalam demokrasi yang sedang kita bangun bersama. Demokrasi sebagai alat membangun daulat rakyat dibangun atas dasar prestasi, integritas dan kompetensi terbaik. Justru pencitraan tokoh politik dengan memanfaatkan buzzer berpotensi menggagalkan konsolidasi demokrasi. Sebab buzzer terus memproduksi konten kepada publik yang dipercaya mampu membangun identitas semu atas seorang pemimpin atau tokoh bangsa.
Padahal demokrasi sebagai bagian dari kehidupan politik modern selayaknya dibangun atas dasar semangat meritokrasi. Prestasi kepemimpinan dihadirkan secara nyata, dipersembahkan kepada rakyat dan penilaian baik-buruk diberikan rakyat. Demokrasi dengan semangat meritokrasi menekankan bahwa rakyat akan Sufri Bhakti (2018) menjelaskan Michael Young dalam buku “Rise Of The Meritocracy” menjelaskan meritokrasi adalah proses promosi dan rekrutmen pejabat negara berdasarkan kemampuan melaksanakan tugas. Dalam sistem meritokrasi, seorang pemimpin dinilai berdasarkan kinerja nyata, bukan dibangun atas propaganda “ilusi” para buzzer politik.
Dalam kepemimpinan di Indonesia, konsep meritokrasi diterapkan Sutan Sjahrir (1945-1947), Agus Salim (1947-1949) dan Ir Juanda (1957-1959. Mereka memilih politisi berprestasi yang sudah terbukti unggul secara akademis, integritas tinggi dan mampu bekerja keras untuk rakyat dan kejayaan bangsa Indonesia. Spirit meritokrasi perlu dibangun agar terbangun pemimpin dari kalangan politisi yang memahami akar masalah, mampu menghadirkan solusi dan menelurkan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. Kedaulatan berpikir dan kematangan tindakan politik akan mampu menghadirkan politisi yang berkarya dan bekerja nyata untuk Indonesia.
Membangun meritokrasi politik dirasakan mendesak agar politik kita tidak semakin kehilangan karya nyata. Meski kita hidup di era revolusi industri yang memproduksi teknologi ninternet canggih dan media sosial. Sejatinya keberpihakan kepada kebenaran, berpijak atas dasar pengetahuan dan terbangunnya semangat nasionalisme tidak boleh sedikit pun pudar. Untuk itu, pilihan meritokrasi politik harus mampu disinergiskan dengan mengendalikan buzzer politik yang memperkeruh persatuan dan kesatuan bangsa. Segala tindakan buzzer politik yang melanggar tindakan hukum harus diproses dengan hukuman pidana dan sanksi sosial yang berat. Ini penting sebagai bahan pembelajaran sehingga berkembang ruang dialog politik yang sehat dan pengguna media sosial yang beretika.
Untuk politisi atau pemimpin yang memakai jasa buzzer politik dengan tugas “menyerang” kepribadian lawan politiknya, maka selayaknya pilihan itu dihentikan. Jika ingin menjadi pemimpin bangsa, maka kompetensi, prestasi dan kerja nyata untuk rakyat dapat menjadi pilihan prioritas. Sebagai manusia politik yang waras, sebagaimana perkataan SBY “Dalam melawan kemungkaran, janganlah digunakan cara-cara yang sama mungkarnya” Sudah waktunya bangsa Indonesia mengedepankan meritokrasi politik, dan biarkan rakyat memenangkan tokoh politik yang mampu memenangkan hatinya.